Title of your new page
ugas Ujian Akhir Semester
TASAWUF AKHLAQI
(Hasan Al-Bashri, Al-Muhasibi, Al-Qusairi dan Al-Ghazali)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Akhlaq Tasawuf
Dosen Pengampu: Indriya Mulyaningsih, M.Ag.
Disusun Oleh :
Dewi Amanah
Aklidah Filsafat (Semester 1)
ADAB DAKWAH DAN USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
Jalan Perjuangan By Pass Sunyaragi
Telp. (0231) 481264 Faks. (0231) 489926 Cirebon 45132
Website: WWW.iainsyekhnurjaticrb.ac.id
E-mail: iainsyekhnurjaticirebon.ac.id
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................ ..... 1
C. Tujuan Masalah...................................................................................................... 2
PEMBAHASAN...................................................................................................... 3
A. Teori
1. Pengertian dan Ajaran Tasawuf Akhlaqi................................................................ 3
a. Takhali............................................................................................................... 4
b. Tahalli................................................................................................................ 4
c. Tajali.................................................................................................................. 4
2. Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaqi............................................................................... 6
1. Hasan Al-Bashri........................................................................................... 6
2. Al-Muhasibi....................................................................................................... 8
3. Al-Qusyairi........................................................................................................ 9
4. Al-Ghazali......................................................................................................... 9
B. Analisis
PENUTUP
Kesimpulan.............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara garis besar, Para ahli membagi akhlaq tasawuf menjadi dua aliran besar (kecendrungan). Pertama, kecendrungan tasawuf yang lebih mengarah pada teori-teori perilaku; dan kedua, kecenderungan tasauf yang lebih mengarah pada perumusan teori-teori rumit, pemikiran spekulatif berbau filsafat serta memperlukan pemahaman mendalam. Kecenderungan pertama sering disebut dengan aliran tasawuf akhlaqi. Sedangkan kecenderungan kedua sering disebut dengan jenis aliran tasawuf falsafi. Kali ini pembahasan akan di fokuskan pada tasawuf akhlaqi.
(Kurdi. 2003:406) mengatakan bahwa tasawuf adalah suatu ilmu dengan diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari tercela dan mengisinya dengan sifat – sifat yang terpuji cara melakukan suluk, dan perjalanan menuju (keridhaan) Allah dan perjalanan menuju Allah dan meninggalkan (larangan – larangan-Nya) menuju kepada (perintah-nya).
Tasawuf adalah nama lain dari “Mistisisme dalam Islam”. Di kalangan orientalis Barat dikenal dengan sebutan “Sufisme”, tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan.
Taswuf akhlaqi memiliki sederetan tokoh terkenal, antara lain Hasan Al-Basri (21-110 H/ 632-728 M), al-Harits bin Asad al-Muhasibi (w. 243 H), al-Qusyairi (w. 465 H) dan al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111). (Mahfud. 2011:33)
B. Rumusan Masalah
1. Apa Tasawuf Akhlaqi?
2. Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaqi?
3. Seperti apa aliran alirannya?
C. Tujuan Makalah
Dengan adanya pembelajaran pembuatan materi makalah Akhlak Tasawuf saya berharap agar saya dan pembaca berusaha untuk belajar mendekatkan diri pada Allah, sehingga merasa dan sadar berada di hadirat Tuhan. Keberadaan di hadirat Tuhan itu sebagai kenikmatan yang hakiki. Tidak hanya di jadikan sebagai tugas Ujian Akhir Semester saja akan tetapi sebagai bahan pembelajaran juga.
PEMBAHASAN
- Teori
- Pengertian dan Ajaran Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaki jika ditinjau dari sudut bahasa, bentuk fase atau dalam kaidah bahasa arab dikenal dengan sebutan jumlah idhofah. Fase jumlah idhofah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu kesatuan makna yang utuh dan menentukan realitas yang khusus, yaitu kata ’tasawuf’ dan ‘akhlak’.
Kata Tasawuf menurut kaidah ilmu shorof merupakan bentuk isim masdar yaitu tashowwufan (تصوف menjadi تصوفا ), yang berasal dari fiil tsulatsi mazid khumasi, yaitu (تصوف) yang memiliki fungsi untuk membentuk makna lil-mutowwa’ah atau transitif (kata keja yang memiliki objek dalam kalimat) dan lil-musyarokah atau membentuk kata saling sehingga arti dari kata ‘tasawuf’ dalam bahasa arab adalah bisa membersihkan’ atau ‘saling membersihkan’. Kata ‘membersihkan’ merupakan kata kerja transitif yang membutuhkan objek. Objek tasawuf adalah akhlak manusia. (Anwar : 2009)
Tasawuf akhlaqi ini sering di tunjukan dengan banyaknya istilah seperti halnya tasawuf praktis, karena lebih berorientasikan pada praktek akhlak atau perilaku shaleh, dan disebut juga dengan
“tasawuf Sunni. Tasawuf Sunni yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqomat (tingkatan rohaniah) mereka kepada dua sumber tersebut”. (Syukur : 1994)
Menurut Jurzi Zaidan berkeyakinan pula banwa “Hubungan kata Arab ini dengan kata Yunani “Shopia” yang artinya kebijaksanaan”. Edidarmo: (2009 : 166)
Dan tujuan terpenting dari tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga merasa dan sadar berada di “hadirat” Tuhan. Keberadaan di “hadirat” Tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi Muhammad Saw dalam melaksanakan Isra’ Mi’raj dan Nabi Musa As yang bisa membelah lautan menjadi dua, misalnya, merupakan sebuah contoh puncak pengalaman rohani tertinggi yang hanya di punyai oleh seorang Nabi.
Semua sufi berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang dapat menghantarkan seseorang ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Karena jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari pada Dzat Allah Yang Maha Suci, segala sesuatu itu harus sempurna (perfection) dan suci. Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian, jiwa memerlukan pendidikan dan latihan mental yang panjang.
Dan sejalan dengan tujuan hidup tasawuf, para sufi berkeyakinan bahwa kebahagiaan yang paripurna dan langgeng bersifat spiritual. Berangkat dari falsafah hidup itu, baik dan buruk sikap mental seseorang dinilai berdasarkan pandangannya terhadap kehidupan duniawi. Kaum sufi juga berpendapat bahwa kenikmatan hidup duniawi bukanlah tujuan, tetapi sekedar jembatan. Oleh karena itu, untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian yang pertama dan utama dilakukan adalah menguasai hawa nafsu. Sebab, menurut Al-Ghazali, tak terkontrolnya hawa nafsu yang ingin mengecap kenikmatan hidup duniawi adalah sumber utama dari kerusakan akhlak. (Mahdi : 2008)
Oleh karena itu, dalam rangka pendidikan mental-spiritual, metode yang ditempuh para sufi adalah menanamkan rasa benci kepada kehidupan duniawi untuk mencintai Tuhan. Esensi cinta kepada Tuhan adalah melawan hawa nafsu. Bagi sufi, keunggulan seseorang bukanlah diukur dari tumpukan harta yang dimilikinya, bukan pula dilihat dari pangkat yang dijabatnya. Nilai seseorang tidak dilihat dari bentuk tubuh yang dimilikinya, tetapi terletak pada akhlak pribadi yang diterapkannya.
Tasawuf akhlaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dan ilmu akhlak. Tasawuf akhlaki dapat terealissi secara utuh jika pengetahuan dan ibadah kepada Allahdi buktikan dalam kehidupan social. Dalam tasawuf akhlaki mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak diantaranya: Takhalli, Tahalli dan Tajalli.
- Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi. Takhalli adalah usaha membersihkan atau mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela, baik maksiat batin yang telah disebutkan. Maksiat-maksiat ini mesti dibersihkan, karena menurut para sufi semua itu adalah najis maknawiyah yang menghalangi seseorang untuk dapat dekat dengan tuhannya, sebagaiman najis zati yang menghalangi seseorang untuk melakukan ibadah kepada-Nya.
Takhalli berarti melepaskan diri dari ketergantungan kepada kelezatan hidup di dunia dengan melenyapkan doprongan hawa nafsu yang cenderung kepada keburukan.
- Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dan lain - lain.
Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan. Apabila sifat-sifat buruk telah di buang, kemudian sifat-sifat baik ditanamkan, maka akan lahirlah kebiasaan-kebiasaan baik, akhlak yang mulia. Berbuat, bertingkah laku, bertindak dalam bimbingan sifat-sifat yang mulia yang telah ditanamkan dalam diri.
- Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dalam dirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
Tingkat kesempurnaan kesuciaan jiwa dalam pandangan para sufi hanya dapat diraih melalui rasa cinta kepada Allah. Keberadaan dekat dapat diraih melalui rasa cinta kepada Allah. dekat dengan Allah hanya akan dapat diperoleh dengan kebersihan jiwa. Jalan menuju kedekatan pada Allah menurut para sufi dapat dilakukan dengan dua usaha yaitu dengan mulazamah dan mukhalafah. Dan untuk memperdalam dan melenggangkan rasa kedekatan pada Tuhan, para sufi mengajarkan hal-hal berikut: Munajat, munasabah, muraqobah, katsrat ad-dzikr, dzikir al-maut, dan tafakur.
- Tokoh-tokoh Tasawuf Ahklaqi
1. Hasan Al-Bashri
Nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan Bin Yasar. Beliau adalah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabiin. Dia lahir di Madinah pada tahun 21 H (624 M), dan meninggal di Basrahpada tahun 110 (726 M). ayahnya bernama Zaid Bin Tsabit, seorang budak yang kemudian menjadi sekertaris Nabi Muhammad Saw, ibunya adalah hamba dari istri Nabi yaitu Ummu Salamah.
Hasan Al-Basri yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha menyucikan jiwa di Masjid Basrah. Ajaran-ajarannya tentang kerohanian senantisa didasarkan pada sunnah Nabi. Para sahabat Nabi yang masih hidup di zaman itu pun mengakui kebesarannya. Puncak keilmuannya beliau peroleh di Basrah. Beliau sangat terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Disamping sebagai zahid, Ia juga terkenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran.
Dan beliau adalah orang yang pertama kali memunculkan ajaran dengan sikap mental dan rasa cemas (khaul) dan harap (raja’) sebagai cirri kehidupan sufi. Menurut Al-Bashri, yang dimaksud dengan cemas atau takut adalah sesuatu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan sering lalai kepada Allah. Rasa takut akan mendorong seseorang untuk mempertinggi nilai dan kadar pengabdiannya dengan harap (raja’), ampunan dan anugerah Allah.
Ia pernah berkata, “Demikian takutnya, sehingga ia seakan – akan ia merasa bahwa neraka itu hanya di jadikan untuk ia (Hasan Al-Basri).” Hamka (1990:72)
Adapun ajaran-ajaran Hasan Al-Bashri dapat dilihat dari ungkapan-ungkapannya seperti yang dikutip oleh Hamka sebagai berikut:
a. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut.
b. Dunia adalah negri tempat beramal. Barang siapa yang bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun barang siapa yang bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat pada dunia, ia akan sengsara dan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
c. Tafakur membawa kita pada kebaiakan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat membuat kita tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana bagaimanapun tidak akan menyamai yang baqa’ betapapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.
d. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan suaminya.
e. Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara perasaan takut, yaitu takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal dan bahaya yang akan mengancam.
f. Hendaklah setiap orang sadar akan memikrkan kematian yang senntiasa mengancamnya dan kiamat yang akan menagih janjinya.
g. Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh.
Berkaitan dengan ajaran Al-Bashri, Muhammad Musthafa seorang guru besar filsafat islam menyatakan bahwa kemungkinan tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Setelah diteliti ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaan yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalain dirinya yang mendasari tasawuf. Sebagaimana sabda Nabi: “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana orang yang duduk di bawah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya”.
2. Al-Muhasibi
Nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Bashri Al-Baghdadi Al-Muhasibi. Beliau terkenal dengna sebutan Al-Muhasibi, beliau lahir di Bashrah, Irak, pada tahun 165 H (781 M) dan beliau meninggal pada tahun 243 H ( 857 M) di Baghdad Irak. Beliau adalah seorang sufi dan ulama besar yang dikenal dan menguasai beberapa bidang ilmu seperti: Hadits. dan Fiqih. Dan beliau juga merupakan figur sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa. beliau juga sering kali mengintropeksi diri menurut amal yang dilakukannya. Solihin (2003 : 47)
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat di tempuh melalui ketaqwaan kepada Allah. Hamka mengutip kata-kata dari Al-Muhasibi” Barang siapa yang telah bersih hatinya karena senantiasa muroqobah dan ikhlas, maka akan berhiaslah lahirnya dengan mujahadah (perjuangan) dan mengikuti contoh yang ditinggalkan Rasulallah Saw”.
Al–Muhasibi juga berbicara teentang Ma’rifat. Menurutnya, Ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Untuk mencapai Ma’rifat, diperlukakan tahapan-tahapan yaitu yang pertama, taat. Awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat. Yang kedua, Khauf (rasa takut) dan Raja’ (pengharapan). Menurutnya Khauf dan Raja’ menempati posisi yang penting dalam perjalanan seseorang dalam membersihkan jiwa.
3. Al-Qusyairi
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Hawazim, lahir tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Beliau meninggal pada tahun 465 H. Beliau sangat mengecam keras para sufi pada masanya karena kegemaran mereka menggunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan pakian mereka. Dia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah, lebih penting ketimbang pakaian lahiriah. Menurut Al-Qusyairi, upaya pengembalian arah tasawuf harus dengan cara merujuknya pada doktrin ahlussunnah.
Al-Qusyairi mencoba mengadakan pembaharuan terhadap tasawuf. Ia mengemukakan konsep-konsep mengkompromikan antara syariat dengan hakikat, antara yang dzahir dengan yang bathin dengan senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Assunnah.( Mustofa : 2010 )
4. Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Beliau dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah. Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H/ 1057 M di kampung Ghazlah sebuah kota di Khurasan, Iran. Beliau meninggal di kota kelahirannya pada tanggal 19 Desember tahun 505 H/ 1111 M. Di masa hidupnya, bertepatan dengan masa pemerintahan Perdana Menteri Nizamul Muluk dari Kerajaan Bani Saljuk. Dan Al-Ghazali mendapat gelar “ hujjah al-islam”.
Al-Ghazali dikenal sebagai Fuqoha, Mutakallim, Filosof, Sufi, dan Ahli Didik yang dikagumi oleh Ulama-ulama besar, karena sangat dalam dan luas ilmunya. Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian beliau melanjutkan ke Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah beliau berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/ 1086 M). Selama di Naisabur, beliau juga belajar teori-teori Tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj.
Al-Ghazali sering berpendapat bahwa Mutakallimin sering melakukan kekeliruan, karena menjadikan Filsafat sebagai dasar berpikir dalam menguraikan Ilmu Kalam. Oleh karena itu, kebenaran ilmunya hanya sampai ke penghujung Filsafat, tidak bisa menggali sampai ke akar-akarnya. Maka hasilnya, ilmu tersebut tidak akan dapat memperkuat pendirian ketuhanan bahkan hanya menggoyahkan saja.
Al-Ghazali seperti halnya Al-Qusyairi yang mencoba mengembalikan tasawuf dibawah bimbingan dan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Ghazali berpendapat bahwa sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus menperdalam ilmu tentang syariat dan aqidah terlebih dahulu dan menjalankannya secara tekun dan sempurna. Menurut Al-Ghazali bahwa ma’rifah dan mahabbah adalah setinggi-tingginya tingkat yang dicapai seorang sufi dan pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
Keberhasilan Al-Ghazali mengkompromikan syariat dan hakikat, dikatakan bukan tidak memiliki kelemahan. Penempatan syariat dibawah tarekat dan hakikat telah menimbulkan suatu efek dimana para sufi selalu merasa superior, merasa menjadi golongan khawaj yang memiliki kelebihan atau keunggulan dari manusia biasa.
Terlepas dari kekurangan–kekurangannya, Al-Ghazali adalah seorang sufi ulum yang telah berhasil membangkitkan gairah keagamaan yang mulai redup pada waktu itu dan mengembalikan penghayatan agama atau ajaran tasawuf kepada bingkai ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.
- Analisi
Dalam rangka pendidikan mental-spiritual, metode yang ditempuh para sufi adalah menanamkan rasa benci kepada kehidupan duniawi. Ini berarti melpaskan kesenangan duniawi untuk mencari Tuhan. Esensi cinta kepada Tuhan adalah melawan hawa nafsu. Bagi kaum sufi,keunggulan seseorang bukanlah diukur dari tumpukan harta yang dimiliki, bukan pula dilihat dari pangkat yang di jabatnya dan bukan pula dari otoritas yang dimilikinya. Nilai seseorang tidak dilihat dari bentuk tubuh yang dimilikinya, tetapi terletak pada akhlak pribadinya yang diterapkannya.
Para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik di perlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriah. Itulah sebabnya, pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukupa berat. Tujuannya adalah menguasai hawa nafsu, menekan hawa nafsu sampai ketitik terendah hingga mematikan hawa nafsu.
PENUTUP
Kesimpulan
Tasawuf Akhlaqi merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dengan ilmu akhlaq. Akhlaq erat hubunganya dengan prilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi sosial pada lingkungan tempat tinggalnya. Tasawuf Akhlaqi juga dikenal dengan tasawuf sunni, yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits secara ketat serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqomat(tingkatan rohaniah) mereka kepada dua sumber tersebut.
Tokoh sufi yang termasuk tasawuf akhlaqi adalah Hasan Al-Bashri, Al-Muhasibi, Al-Qusyairi, dan Al-Ghazali.
DAFTAR PUSTAKAAN
Anwar, Rosihin. Akhlaq Tasawuf. Bandung. Pustaka Setia. 2009.
Amin Syukur, Rasionalisme dalam Tasawuf. IAIN Wali Songo. Semarang, 1994.
Edidarmo Toto, Mulyadi, Akidah Akhlak.Semarang.PT Karya Toha Putra. 2009.
Hamka, Tasawuf moderen, pustaka panjimas, jakarta 1990.
Mahdi. Pengantar Akhlaq Tasawuf. Cirebon. CV. Pangger. 2008.
M. Solihin, Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman. Pustaka Setia. Bandung, 2003.
Mahfud, Akhlaq Tasawuf, Cirebon, At-Tarbiyah, 2011.
Muhammad Amir Kurdi, tt.,Tanwi al-Qulub fi Mu’amalah ‘Alam al-Ghuyub, surabaya, Bungkul indah, 2003.
Mustofa, Akhlak Tasawuf. Bandung. Pustaka Setia. 2010, Cetakan Kelima.
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf. Bandung. Pustaka Setia. 2008,
Cetakan Pertama.
SEJARA DAN PEMIKIRAN AL-QUSYAIRI
SEJARA dan PEMIKIRAN AL-QUSYAIRI
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
NAMA: ARRI ALIANSYAH
MATA KULIAH: AKHLAK TASAWUF
DOSEN PEMBIMBING: IKBAL IRHAM
JURUSAN JINAYAH SIYASYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2011
SEJARAH DAN PEMIKIRAN AL-QUSYAIRI
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi tiga; pertama, tasawuf yang mengarah pada toeri-teori perilaku; kedua, tasawuf yang mengarahkan pada teeori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam; ketiga, tasawuf yang pendekatannya melalui hati yang bersih (suci) yang dengannya seorang dapat berdiolog secara batini dengan Tuhan sehingga pengetahuan (ma’rifat) dimasukkan Allah kedalam hatinya, hakikat kebenaranpun tersingkap lewat ilham.
Tasawuf yang berorientasi kearah pertama sering disebut sebagai tasawuf akhlaki. Adapun tasawuf yang berorientasi kearah yang kedua disebut sebagai tasawuf falsafi dan yang berorientasi kearah yang ketiga disebut sebagai tasawuf irfani.[1][1] Dan, yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini adalah yang pertama yaitu tasawuf akhlaki termasuk salah satu tokohnya yaitu Al-Qusyairi.
Pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli ( menghiasi dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (terbukanya dinding penghalang (hijab) ) antara manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya.[2][2]
Tasawuf akhlaqi yang terus berkembang semenjak zaman klasik Islam hingga zaman modern sekarang sering di gandrungi orang karena penampilan paham atau ajaran-ajarannya yang tidak terlalu rumit. Tasawuf seperti ini banyak berkembang di dunia Islam, terutama di Negara-negara yang dominan bermazhab Syafi’i.
Pada mulanya, tasawuf itu ditandai ciri-ciri psikologis dan moral, yaitu pembahasan analisis tentang jiwa manusia dalam menciptakan moral yang sempurna.[3][3] Adapun ciri-ciri tasawuf akhlaqi antara lain:
1. Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tasawuf jenis ini, dalam pengamalan ajaran-ajarannya, cenderung memakai landasan Qur’ani dan Hadis sebagai kerangka pendekatannya. Mereka tidak mau menerjunkan pahamnya pada konteks yang berada di luar pemahaman Al-Qur’an dan Hadis yang mereka pahami, kalau pun harus ada penafsiran, panafsiran itu sifatnya hanya hanya sekedarnya dan tidaka begitu mendalam.
2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-uangkapan syathatat. Terminology-terminologi di kembagngkan tasawuf Sunni lebih transparan, sehingga tidak kerap bergelut dengan terma-terma syathatat. Walaupun ada tema yang mirip syathatat, itu di anggapanya merupakan pengalaman pribadi dan mereka tidak menyebarkannya kepada orag lain. Pengalaman yang ditemukannya itu mereka anggap pula sebagai sebuah karamah atau eajaiban yang mereka temui. Sejalan dengan ini, Ibnu Khaldun sebagaiana dikutip At-Taftazani, memuji para pengikut Al-Qusyairi yang beraliran Sunni, karena dalam aspek ini mereka memang meneladani para sahabat. Pada diri sahabat dan tokoh angkatan salaf telah banyak terjadi kekeramatan seperti itu.
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksudkan disini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, hubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda di antara keduanya, dalam hal esensinya. Sedekat apapun manusia dengan Tuhannya tidak lantas membuat manusia dapat menyatu dengan Tuhan.
Al-Qur’an dan Hadis dengan jelas menyebutkan bahwa “inti” makhluk adalah “bentuk lain” dari Allah. Hubungan antara sang pencipta dengan yang diciptakan bukanlah merupakan salah satu persamaan, tetapi “bentuk lain”. Benda yang diciptakan Allaha adalah bentuk lain dari penciptanya. Hal ini tentunya berbeda dengan paham-paham filosofis yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan keganjilannya. Kaum sufi Sunni menolak ungkapan-ungkapan ganjil seperti yang disebutkan Abu Yazid al-Busthami dengan teori fana’ da baqa-nya, Al-Hallaj dengan konsep hulul-nya, dan Ibnu Arabi dengan konsep dahwatul wujud-nya.
4. Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at. Dalam penegrtian lebih khusus, keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek batiniahnya) dengan fiqh (aspek lahirnya). Hal ini merupakan konsekuensi dari paham diatas. Karena berbeda dengan Tuhan, manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan tetap berada pada posisi atau kedudukannya sebagi objek penerima informasi dari Tuhan. Kaum sufi dari kalangan Sunni tetap memandang penting persoalan-persoalan lahiriah-formal, seperti aturan aturan yang dianut oleh fuqaha. Aturan-aturan itu bahkan sering di anggap sebagai jembatan untuk berhubungan dengan Tuhan.
5. Lebih terkonsentrasi pada pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengaobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.
Tasawuf akhlaki adalah taswuf yang berorientasi pada teori perilaku. Tasawuf seperti ini ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan dalam kaum salaf (salafi). Pada mulanya, taswuf ini bercirikan untuk mengupayakan agar manusia memiliki moral atau akhlak yang sempurna. Pada periode ini, para sufi telah melihat bahwa manusia adalah makhluk jasmani dan rohani karena wujud kepribadiannya bukanlah kualitas-kualitas yang bersifat material belaka, tetapi justru bersifat kualitas-kualitas rohaniyah-spritual yang hidup dan dinamis.[4][4]
Dalam tasawuf akhlaki ini akan di bahas mengenai salah seorang tokohnya, yaitu Al-Qusyairi. Baik itu sejarahnya maupun perannya dalam dunai tasawuf. Berikut ini akan di uraikan mengenai hal-hal tersebut.
a. Biografi singkat Al-Qusyairi
Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama dari adad kelima Hijriah. Kedudukannya demikian penting mengingat karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf aliran Sunni pada abad ketiga dan keempat Hijriah, menyebabkan terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun secara praktis.[5][5]
Nama lengkap Al-Qurairi adalah ‘Abdul karim bin Hawazin al-Qusyairi, lahir tahun 376 H. di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Disini lah ia bertemu dengan gurunya, abu Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qurairi selalu menghadiri majelis gurunya dan dari gurunya itulah ia menempuh jalan tasawuf. Sang guru menyarankannya untuk pertama-tama mempelajari syariat. Oleh karena itu, dia selalu mempelajari fiqih dari seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi (wafat tahun 405 H), dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqih Abu Bakr bi Farauk (wafat tahun 406 H).[6][6]
Tidak banyak diketahui mengenai masa kecil al-Qusyairy, kecuali hanya sedikit saja. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan pada Abul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al-Qusyairy. Pada al-Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra. Para penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat..
Selain itu, ia pun menjadi murid Abu Ishak al-Isfarayini (wafat tahun 418 H) dan menelaah banyak karya al-Baqillani. Dari situlah Al-qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlussunnah Wal Jama’ah yang dikembangkan al-Asyi’ari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela paling tangguh dalam menentang doktrin aliran-aliran Mu’tazilah, Karamiyyah, mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, ia mendapat serangan keras dan dipenjara selama sebulan lebih atas perintah Thugrul Bek karena hasutan seorang menterinya yang menganut aliran Mu’tazilah Rfidhah. Bencana yang menimpa dirinya itu, yang bermula pada tahun 445 H, diuraikannya dalam karyanya, Syikayah Ahl As-Sunnah. Menurut ibnu Khallikan, Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu mengompromikan syari’at dengan hakikat. Dia wafat tahun 465 H.[7][7]
Sebagaimana telah disinggung diatas, Al-Qusyairi adalah seorang tokoh yang terkemuka pada abad kelima Hijriyah yang cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikan tasawuf ke landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan ciri-ciri utama dari ajaran tasawuf sunni. Kedudukannya yang demikian penting, menginget karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf aliran sunni pada abad-abad ketiga dan keempat Hijriyah, yang membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun praktis. Menurut Ibnu Khalikan, Al-Qusyairi adalah seorang tokoh yang mampu “mengkompromikan syariat dengan hakikat”.[8][8]
Dapat dikatakan, Al-Qusyairi terkenal karena ia menuliskan sebuah risalah tentang tasawuf, yang diberi nama Ar-Risalah al-Qusyairiah. Sebenarnya, kitab ini ditulis olehnya untuk golongan orang-orang sufi dibeberapa negara Islam dalam tahun 473 H, kemudian tersiar luas keseluruh tempat kerena isinya ditujukan untuk mengadakan perbaikan terhadap ajaran-ajaran sufi yang pada saat itu telah banyak menyimpang dari sumber hukum Islam. Karya tulis Al-Qusyairi yang paling terkenal dan hingga saat ini menjadi bahan bacaan wajib bagi para peminat tasawuf adalah Risalah al-Qusyairiyyah fi’Ilm at-Tasawufi.[9][9]
Al-Qusyairi adalah tokoh yang senantisa mengamalkan ajaran tasawuf, sehingga dalam sebuah buku[10][10], Khamsyakhanuwi menyatakan bahwa terdapat tokoh-tokoh sesudah abad ketiga Hijriyah yang walaupun sedah wafat mereka terus meerus beramal dalam kuburnya seperti ketika masih hidup. Beberpa diantaranya adalah Syeik Junaid al-Baghdadi, Abu Yazid al-Bustami, Imam Syibli, Al-Qsyairi, Asy-Syibani dan masih banyak sekali yang lain bahkan sampai beribu-ribu.
Pada permulaannya, diktrin-doktrin tasawuf di ajarkan melalui tanda-tanda, sebagimana sekarang juga dilakukan terhadap bagian-bagian yang berisi okultisme. Mereka yang sudah mahir akan mampu berbicara satu sama lain dengan tanda-tanda, tanpa mengucapkan sebuah kata pun. Dzun Nun adalah orang yang pertama kali merumuskan doktrin-doktrinnya melalui kata-kata. Junaid dari Baghdad juga mensistematisasi hal yang sama. Abu Bakar Shibli adalah orang yang menyerukan hal serupa dari mimbar masjid. Sebagaimana juga Socrates yang menurunkan filsafatnya dari “langit” ke dunia. Hal serupa juga dapat ditemukan pada karya tulis Abul Qasim al-Qusyairi dalam risalahnya: Risala-i-Qusyairiyah fi ilm-ut-Tasawuf.[11][11]
b. Pemikiran Al-Qusyairi
1. Mengembalikan Tasawuf ke Landasan Ahlussunnah
Seandaikan karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah al-Qusyairi dikaji secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana dia cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlus Sunnah , sebagimana pernyatannya,
“ketauhilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhidyang benar, sehingga terpeliharah doktrin mereka dari penyimpangan. Selain itu, mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun Ahlus Sunnah, yang tidak tertandingi serta mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan bias mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu, tokoh aliran ini, Al-Junaid mengatakan bahwa tauhid adalah pemisah hal yang lama dengan hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin mereka pun di dasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Dan seperti dikatakan Abu Muhammad Al-Jariri bahwa barang siapa yang tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincir kaki yang tertipu kedalam jurang kehancurannya.”,
Secara implisit dalam ungkapan Al-Qusyairi tersebut terkandung penolakan terhadap para sufi syathahi yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat baharunya. Bakan dengan konotasi lain, secara terang-terangan Al-Qusyairi mengkritik mereka,
“Mereka menyatakan bahwa mereka telah bebas dariperbudakan sebagai belenggu dan berhasil mencapai realita-realitas rasa penyatuan dengan Tuhan (wushul). Lebih jauh lagi, mereka tegak bersama Yang Maha Besar, dimana hukum-hukum-Nya berlaku atas diri mereka, sementar mereka dalam keadaan fana. Allah pun, menurut mereka tidak mencela maupun melarang apa yang mereka nyatakan ataupun lakukan. Dan kepada mereka disingkapkan rahasia-rahasia keesaan dan setelah fana, mereka pun tetap memperoleh cahaya-cahaya ketuhanan, tempatbergantung pada sesuatu….”
2. Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena kegemaran mereka mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan tindakan mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah, lebuh penting ketimbang pakaian lahiriah. Sebagimana perkatannya,
“Duhai saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat (pada para sufi sezamannya). Sebab, ketika hakikat realitas-realitas itu tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para sufi yang megada-ada dalam berpakaian - setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun penjauhan diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri; dan setiap yang batin itu bertentangan dengan lahir adalah keliru dan bukannya yang batin… setiap tauhid yang tidak dibenarkan Al-Qur’an maupun As-sunnah adalah pengingkaran Tuhan dan bukan tauhid; setiap pengenalan terhadapa Allah yang tidak dibarengi kerendahan hati maupuin kelurusan jiwa adalah palsu dan bukannya pengenalan terhadap Allah.”
3. Penyimpangan Para Sufi
Dalam konteks yang berbeda, dengan ungkapan yang pedas, Al-Qusyairi mengemukakan suatu penyimpangan lain dari pada abad kelima Hijriah,
“Kebanyakan para sufi yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah tiada. Dalam bekas mereka, tidak ada yang tinggal dari kelompok tersebut, kecuali bekas-bekas mereka.”
Kemah itu hanya serua kemah mereka.
Kaum wanita itu, kulihat, bukan mereka.
Zaman telah berakhir bagi jalan ini. Tidak, bahkan jalan ini telah menyimpang dari hakikat realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka. Tidak banyak lagi generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka. Sirnalah kerendahan hati dan punahlah sudah kesederhanaan hidup. Ketamakan semaki menggelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah kehormatan harga dari kalbu. Betapa sedikit orang-0orang yang berpegang teguh pada agama. Banyak orang yang menolak membedakan masalah halal haram. Mereka cenderung meninggalkan sikap menghormati orang lain dan membuang jauh rasa mau. Bahkan, mereka merasa enteng pelaksanaan ibadah , melecehkan puasa dan shalat, dan terbuai dalam medan kemabukan.dan mereka jatuh dalam pelukan nfsu suahwat dan tidak peduli sekalipun melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan…….”
Pendapat Al-Qusyairi diatas barangkali terlalu berlebihan. Namun, apapun masalahnya, paling tidak, hal itu menunjukkan bahwa tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi-segi moral dan tingkah laku.
Oleh karena itu pula, Al-Qsyairi menyatakan bahwa ia menulis risalahnya karena dorongan rasa sedihnya melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu, menurutnya, sekedar “pengobatan keluhan” atas apa yang menimpa tasawuf pada masanya.
Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin ahlu al-sunnah yaitu dengan mengikuti para sufi sunni pada abad ketiga dan keempat Hijriyah. Dia menolak terhadap sufi syathahi, yang menyatakan adanya perpaduan antara sifat-sifat ke-Tuhanan, khususnya sifat qodim-Nya, dan sifat-sifat kemanusiaan khususnya sifat hadis-Nya. Dari sini jelaslah bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-Ghazali, yang berafiliasi pada aliran yang sama yaitu Al-Asy’ariyayah, yang nantinya akan merujuk paada gagasan Al-Qusyairi.[12][12]
Dari uraian diatas, tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawuf, munurut Al-Qsyairi harus dengan merujuknya pada doktrin Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang dalam hal ini ialah dengan mengikuti para sufi Sunni pada abad-abad ketiga dan keempat Hijriah yang sebagaimana diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.
Dalam hal ini, jelaslah bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-Ghazali, yang dirafiliasi pada aliran yang sama , yaitu Al-Asy’ariyah yang nanti akan merujuk pada gagasannya itu serta menempuh jalan yang dilalui Al-Muhasibimaupun Al-Junaid, secara melancarkan kritik keras terhadap para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang ganjil.
Selian dari ketiga hal diatas, Al-Qusyairi juga memberikan pandangannya kepada beberapa istilah yang ada dalam tasawuf, seperti fana’ dan baqa’, wara’, syari’at dan hakikat:
a. Baqa’ dan Fana’
Dalam struktul ahwal[13][13], yaitu mengenai fana’ dan baqa’, Al-Qusyairi mengemukakan bahwa fana’ adalah gugurnya sifat-sifat tercela,sedangkan baqa’ adalah jelasnya sifat-sifat terpuji. Barangsiapa fana’ dari sifat-sifat tercela, maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji. Sebalikya, apabila yang dominan adalah sifat-sifat tercela maka sifat-sifat terpuji akan tertutupi. Jika seorang individu secara terus-menerus membersihkan diri dengan segala upayanya, maka Allah akan memberikan anugerah melelui kejernihan perilakunya, bahkan dengan penyempurnaan tingkah laku tersebut.
b. Wara’
Pemikiran Al-Qusyairi yang lain adalah wara’, menurutnya wara’ merupakan usaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara’ adalah suatu pilihan bagi ahli tarekat.[14][14]
c. Syari’at dan Hakikat
Al-Qusyairi membedakan antara syari’at dan hakikat; hakikat itu adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ke-Tuhanan dengan mata hatinya. Sedangkan syari’at adalah kepastian hokum dalam ubudiyah,sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari’at ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriah antara manusia dengan Allah SWT.[15][15]
Tasawuf sebagi suatu ilmu yang telah berkembang semenjak pertengahan abad ke dua Hijriah hingga saat ini tentu mmengembangkan bahasa khusus yang hanya bisa dimengerti dalam kaitannya dengan ajaran dan penghayatan para sufi. Misalnya istilah “syari’at” bagi para sufi pengertiannya selalu di hubungkan dengan “halikat”. Maka menurut kacamata para sufi syari’at hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiriah menurut aturan-aturan formal dari pada agama. Jadi, tingkah laku batin seperti kekhusyukan jiwa dalam ibadah dan rasa dekat dengan Tuhan dalam shalat beserta etika itu tidak dimasukkan dalam istilah syari’at. Oleh karena itu, imam Al-Qusyari dalam risalahnya mengatakan:
“Maka setiap syari’ah tidak di dukung oleh hakikat tidak akan diterima. Dan setiap hakikat yang tak terkait dengan dengan syari’at tentu tidak ada hasilnya.” Syari’at dalam pengertian para sufi tidak termasuk laku batin. Laku batin itu khusus milik kaum sufi. [16][16]
Dalam ajaran tasawuf atau kebatinan, hati manusia di percayai punya kemampuan rohani dan menjadi alat sAtu-satunya untuk ma’rifat pada Dzat Tuhan dan untuk mengenal sifat rahasia alam gaib. Dalam hal ini, Al-Ghazali menjelaskan bahwa Dzat Tuhan itu sebenarnya terang benderang. Hanya karena terlalu terang maka tak tertangkap oleh mata manusia. Mata manusialah yang tak mampu menangkap Dzat Tuhan. Dalam hal ini, Al-Risalah al-Qusyairi lebih memperinci lagi. Dia menyatakan bahwa di dalam qalbu terdapat ruh dan sir. Seterusnya sir dikatakan sebagai tempat menyaksikan atau gaib, dan ruh merupakan tempat mencintai Tuhan dan qalbu adalah tempat untuk ma’rifat kepada Dzat Tuhan.[17][17]
Karangan Al-Qusyairi yakni Risalah Qusyairiyah juga memperngaruhi cara berfikir dari al-Ghazali dalam menyatakan alasannya, banyak sekali di temukan ucapan-ucapan Ibn Adham, Tustari, Muhasibi, terutama Abu Thalib al-Maliki (w.386M), pengarang Qutul Qulub dan Ibnu Hawazan al-Qusyairi (w. 465 H) pengarang Risalah Qusyairiyah (tokoh dalam bahasan ini), kedua pengarang dari kitab-kitab sufiyah yang sangat mempengaruhi cara berfikir Al-Ghazali, begitu juga perkataan Nabi Isa, Musa dan Daud sera Nabi-nabi yang lain.[18][18]
Tuesday, 4 June 2013
TASAWUF AKHLAQI
MAKALAH ILMU TASAWUF
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatNya, mungkin Saya tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Terlantun shalawat dan salam untuk imam besar kita semua Nabi Muhammad SAW. Rasa terima kasih juga banyak terucap kepada dosen mata kuliah Ilmu Tasawuf. Tak lupa pula ucapan terima kasih kami berikan kepada teman – teman yang selama ini saling membantu dan mendukung dalam pengerjaan makalah ini. Adapun makalah kami yang berjudul
“ TASAWUF AKHLAQI”
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih memiliki banyak kesalahan dan kekurangan, baik dari segi isi maupun referensinya. Makalah ini jauh dari kesempurnaan, karena itu Saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar Saya dapat menyusun makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Atas semua kesalahannya kami mengucapkan mohon maaf yang sebesar – besarnya. Semoga makalah dapat berguna baik bagi kami sebagai penulis maupun bagi pembaca.
Langsa, 4 Juni 2013
Putri Andria Kasih
DAFTAR ISI
B. Metode metode Pendekatan Tasawuf Akhlaqi
C. Prinsip-prinsip Tasawuf Akhaqi
D. Tokoh tokoh Tasawuf Akhlaqi.
E. Manfaat Mempelajari Tasawuf Akhlaqi
B. Metode metode Pendekatan Tasawuf Akhlaqi
C. Prinsip-prinsip Tasawuf Akhaqi
D. Tokoh tokoh Tasawuf Akhlaqi.
E. Manfaat Mempelajari Tasawuf Akhlaqi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mendekatkan diri kepada Allah, diperlukan akhlak akhlak terpuji terlebih dahulu karena ilmu tasawuf adalah cara untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat dekat mungkin. Namun kebanyakan sekarang ini banyak sekali penulis melihat orang yang berakhlak mazmumah (tercela). Jadi untuk itu hal utama yang harus dilakukan adalah dengan memperbaiki akhlaknya terlebih dahulu, melalui beberapa tahapan tahapan yang akan penulis uraikan nanti di bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
· Apa defenisi tasawuf akhlaki ?
· Apa saja metode-metode tasawuf akhlaki ?
· Apa saja prinsip prinsip tasawuf akhlaki ?
· Siapa saja tokoh tokoh tasawuf akhlaki ?
· Apa manfaat mempelajari tasawuf akhlaki ?
C. Tujuan Rumusan Masalah
· Menjelaskan defenisi tasawuf akhlaki
· Menjelaskan metode metode tasawuf akhlaki
· Menjelaskan prinsip prinsip tasawuf akhlaki
· Memberikan contoh contoh para tokoh tasawuf akhlaki beserta ajarannya.
· Dan menjelaskan manfaat mempelajari ilmu tasawuf akhlaki.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi Tasawuf akhlaqi
Akhlak menurut bahasa berarti tingkah laku, perangai atau tabi’at. Sedangkan menurut istilah adalah pengetahuan yang menjelaskan tentang baik dan buruk. Mengatur pergaulan manusia, dan menetukan tujuan akhir usaha dan pekerjaan.[19][1] Sedangkan tasawuf ialah merupakan berasal dari bahasa arab yaitu : shufa-yashufa-shafa artinya mempunyai bulu banyak. Kemudian kata itu terjadi perubahan kata kepada mazid (tambahan) 2 huruf “TA” dan tasdid waw, sehingga menjadi : tashufa-yashufa-tashufa. Yang artinya menjadi sufi.[20][2]
Secara umum tasawuf akhlaqi ialaj mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersikan diri dari perbuatan perbuatan yang tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia.[21][3]
B. Metode metode Pendekatan Tasawuf Akhlaqi
Pendekatan pendekatan yang digunakan dalam mempelajari tasawuf akhlaki ialah terdiri dari :
1. Takhalli
Yaitu merupakan langkah pertama yang harus dijalani oleh orang sufi
2. Tahalli
Tahlili adalah upaya atau menghias diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlaq terpuji. Sikap mental dan perbuatan baik yang sangat penting diisikan kedalam jiwa manusia dan dibiasakan dalam perbuatan salam rangka pembentukan manusia paripurna, antara lain sebagai berikut :
· Tobat
· Cemas dan harap (Khauf dan Raja’)
· Zuhud
· Al-faqr
· Ash-Shabru
· Rida
· Muqarabah
· Tajalli
Kata tajali bermakna terungkapnya nur gaib. Agar hasil yang diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah berisi dengan butir butir mutiara akhlaq dan terbiasa melakukan perbuatan luhur tidak berkurang, rasa ketuhan perlu dihayati lebih lanjut.[22][4]
Menurut Harun Nasution, ketika mempealajari tasawuf ternyata pula bahwa al-qur’an dan hadis mementingkan akhlak. Karen al-qur’an dan hadis mementingkan nilai-nilai kejuuran, kesetiakwanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong menolong, murah hati, suka member maaf, sabar, baik sangka, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berpikiran luas. Nilai serupa ini harus dimiliki olej seorang muslim dan di masukan kedalam dirinya semasa ia kecil. Dalam tasawuf diketahui masalah ibadah seperti : shalat, puasa, zakat, haji, zikir, dll. Semua itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Dan ibadah tersebut berhubungan dengan akhlak. Ibada didalam al-qur’an dikaitkan dengan takwa dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan meninggalkan larangan Tuhan. Inilah yang dimaksud dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar.[23][5]
Ilmu akhlak secara tidak langsung tidak dapat dipisahkan oleh ilmu lainnya karena ilmu kahlak sendiri adalah merupakan kajian filsafat. Filsafat sebgai asal mulanya ilmu, maka ia tidak dapat terpisahkan dengan cabang cabang ilmu lain.(H.A.Mustafa,2007:21-23). Misalkan :
· Ahklak dengan sosiologi
· Akhlak dengan ilmu hukum
· Akhlak dengan akidah
Akhlak yang diperintahkan dan akhlak yang dilarang secara garis besar ada 2 yaitu :
· Sifat terpuji (mahmudah) yang merupakan harus dilaksanakan oleh setiap muslim
Dalam kajian islam disebutkan bahwa, ada sejumlah sifat mahmuadah (terpuji) yang sebenarnya dipahami. Dilaksanakan dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari karena sifat itu merupakan ajaran islam bahwa sifat terpuji itu menjadi salah satu indentitas keberimanan seseorang, karena salah satu misi diutusnya Rasulullah kepada manusia adalah untuk memperbaiki akhlak mereka. Dalam artian bahwa seseorang mengamalkan akhlak terpuji, berarti mengamalkan ajaran islam secara baik dan orang itu ingin menyempurnakan islamnya.
Dialah hal ini juga diketahui bahwa baiknya akhlak seorang pada zahirnya, bukan bermakna sikap itu dibuat buat, sementara hatinya tidak demikia. Tetapi akhlak yang dimaksud adalah munculnya dari hati yang tulus, tidak merasa terpaksa atau juga bukan karena sesuatu balasan atau karena takut atasan. Kalau akhlak merupakan sikap lahir manusia, namun pada hakikatnya adalah juga tidak terlepas dari kemauan dan ketulusan dari hati. Ini merupakan salah satu aspek hubungan akhlak sebahai sikap lahir, sedangkan cara batin sikap itu didorong oleh hati yang suci. Adapun sifat sifat yang dimaksud adalah sifat yang telah diuraikan seperti diatas.[24][6]
· Sifat tercela (mazmumah) yang merupakan akhlak yang harus di jauhi di kehidupan.
Akhlak mazmumah adalah akhlak yang seharusnya dijauhi oleh setiap muslim. Dalam islam ada sejumlah sifat tercela yang merupakan lawan dari sifat-sifat terpuji diatas, termasuk dalam kelompok orang yang tidak sempurna imannya.[25][7]
C. Prinsip-prinsip Tasawuf Akhaqi
Adapun prinsip prinsip tasawuf akhlaqi ialah :
Tasawuf sunni (akhlaqi) yaitu tasawuf yang benar benar mengikuti Al-Qur’an dan sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan batasan keduanya, mengontrol perilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qasim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab kami terikat dengan dasar dasar Al-Qur’an dan sunnah” . perkataannya lagi “ barang siapa yang tidak hafal (memahami) al-qur’an dan tidak menulis tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendapatnya, mereka mengikuti antara tasawuf mereka dan al-qur’an serta sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang orang yang mengikat antara tasawuf mereka dan al-qur’an serta sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang- orang
D. Tokoh tokoh Tasawuf Akhlaqi.
Tasawuf Sunni (akhlaki) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab kami ini terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”, perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf mereka dengan neraca Syari’ah.
Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak. Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis.
Tasawuf ini juga dinamakan tasawuf nazhari (teori), demikian, karena tasawuf Islam terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah teori ini hanya melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif) secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi sekarang ini.
a. Al-Qusyairi An-Naisabury[26][8]
Dialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibnu Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.
Sedikit sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana. Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy. Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M. Fatimah merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini, lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said Abdul Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath Ubaidillah, Abu Muzaffar Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim.
Disamping berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama lain. Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412 H/936-1021 M), seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad al-Ashfarayain.
Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri
Perburuan terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul (penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo, 1983)
Dari sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya monumentalnya Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu. Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala itu.
Imam Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas
Menurut Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya selama selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.
b. Hasan Al-Bashari (21-110 H)
Beliau adalah seorang zahid yang termashur dikalangan tabi’in beliau digelari dengan Abu Su’id. Ajaran pokoknya adalah zuhud berpola hidup khuf dan raja’
c. Al-Ghazali (450-550 H)
Nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Ahmad Al-Ghazali. Beliau adalah penemu teori ma’rifah (hadral rabubiyah) dan pelopor tasawuf sunni bergelar Hujjatul Islam. Ajaran tasawuf Al-Ghazali ialah : Ma’rifat dan As-saddah.
d. Al- Muhasibi (165-243 H)
Nama lengkapnya ialah Abu Abdullah Al-Haris Bin Asyid Al-Muhasibi beliau adalah pencipta teori Al-Muhasabah dan Muraqabah.
E. Manfaat Mempelajari Tasawuf Akhlaqi
Adapun manfaat dalam mempelajari tasawuf akhlaki sebagai berikut :
1. Seseorang akan dapat memperoleh posisi baik didalam masyarakat.
2. Akan disenangi orang dalam pergaulan.
3. Akan terhindar dari hukuman yang sifatnya manusiawi dan sebagai makhluk yang diciptakan Allah.
4. Orang yang bertakwa dan berakhlak akan mendapatkan pertolongan dan kemudahan dalam memperoleh keluruhan kehidupan dan sebutan yang baik dalam masyarakat. Jasa seseorang yangberakhlak mendapatkan perlindungan dari segala penderitaan dan kesukaran hidup.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
A. Ajaran Tasawuf Akhlaqi
Bagian terpenting dari tujuian tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga merasa sadar berada di “hadirat” Tuhan. Semua sufi berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang dapat menghantarkan seseorang kepada kehadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa. Para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitas sikap mental tidak baim diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriah
Dan tasawuf akhlaqi, system pembinaan akhlaq disusun oleh beberapa metode yaitu sebagai berikut :
1. Takhalli (mengosongkan diri dari dari akhlak yang buruk)
2. Tajalli (terbukanya dinding diri akhlak yang buruk)
3. Tahalli ( menghiasi diri dengan akhlak terpuji)
B. Tasawuf Akhlaqi dan Karakteristiknya
Adapun cirri-ciri tasawuf aklaqi :
· Melandaskan diri pada Al-qur’an dan sunnah
· Tidak menggunakan terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan ungkapan lain.
· Lebih bersifat mengajar dualism dalam hubungan manusia dengan manusia
· Kesianbungan syariat lebih terkontrentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlaq dan pengobatan jiwa dengan riyadhah (latihan mental) dan langkah takhlili, tahalli dan tajali
C. Tokoh – tokoh Tasawuf Akhlaqi
· Hasan Al-Basri (21-110 H)
· AL-Muhasibi (165-243H)
· Al-Qusyairi (376-465H)
· Al-Ghazali (450-505H)
Ajaran tasawuf Al-Ghazali :
- Ma’rifat
- As-Sa’adah
DAFTAR PUSTAKA
· Nata M.A,Prof. Dr.H, Abudin. Ilmu Tasawuf.Jakarta : Rajawali Pers.
· Damanhuri.Akhlak Tasawuf.Banda Aceh : Pena.2010
· Damanhuri.Akhlak Tasawuf.Banda Aceh : Pena.2005,cet. Pertama
· Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.
· Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima
Selasa, 22 Maret 2011
Sejarah Dan Ajaran Al-Qusyairi
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui bahwa tasawuf terbagi menjadi tiga, yaitu tasawuf akhlaki, tasawuf irfani dan tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dan ilmu akhlak. Akhlak erat hubungannya dengan perilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi sosial pada lingkungan tempat tinggalnya. Jadi, tasawuf akhlaki dapat terealisasi secara utuh jika pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia. Supaya lebih mudah menempatkan posisi tasawuf dalam kehidupan bermasyarakat, para pakar tasawuf membentuk kajian tasawuf ini pada ilmu tasawuf akhlaki, yang didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW.
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق (رواه أحمد و البيهقي)
Salah seorang tokoh tasawuf akhlaki adalah al-Qusyairi, untuk mengenal lebih dalam mengenai al-Qusyairi maka patut kiranya kita ketahui mengenai sejarah beliau serta ajaran yang diajarkannya sebagaimana akan dijelaskan dalam makalah ini.
semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi teman-teman, atau bagi siapa saja yang kebetulan membaca tulisan dalam makalah ini, penulis hanyalah manusia yang lemah yang sangat jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis sangat berterima kasih apabila ada kritik, saran, atau apa saja yang berkaitan dengan makalah ini lebih-lebih kami mohon bimbingan dari dosen pembimbing mata kuliah ini, yaitu beliau H. M. Yusuf Agung Subekti, Lc,., M. Si.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat hidup al-Qusyairi
Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hawazin. Sedangkan nasabnya adalah Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad sedangkan panggilannya adalah Abul Qasim. Ia lahir pada bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau tahun 986 M di Astawa.
Tidak banyak diketahui mengenai masa kecil al-Qusyairy, kecuali hanya sedikit saja. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan pada Abul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al-Qusyairy. Pada al-Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra. Para penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat..
Di naisabur inilah ia bertemu gurunya, Abu Ali al-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Ketika mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan. Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, memilih jalan tarekat.
Al-Qusyairi selalu menghadiri majelis gurunya, dan dari gurunya itulah ia menempuh jalan tasawuf. Sang guru menyarankan kepadanya untuk pertama-tama mempelajari syari’at. Oleh karena itu, al-Qusyairi belajar Fiqh kepada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr al-Thusi (w. 405 H), dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr bin Farauk (w. 406 H). Selain itu, menjadi murid Abu Ishaq al-Isfarayini (w. 418 H) dan menelaah banyak karya al-Baqilani.
Dari situlah, al-Qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dikembangkan al-Asy’ari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela paling tangguh aliran itu dalam menentang doktrin aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah, dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, ia mendapat serangan keras, bahkan dipenjara selama sebulan lebih atas perintah Tughrul Bek karena hasutan seorang menterinya yang menganut aliran Mu’tazilah Rafidhah. Bencana yang menimpa dirinya itu, yang bermula tahun 445 H, diuraikannya dalam karyanya, Syikayah Ahl al-Sunnah. Menurut B. Khallikan, al-Qusyairi adalah seorang yang mampu mengompromikan syari’at dengan hakikat. Syuja’ al Hadzaly menandaskan, beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l073 M. Ketika itu usianya 87 tahun.
Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.
Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh sufi utama abad kelima Hijriiyah. Kedudukannya demikian penting mengingat karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf aliran Sunni abad-abad ketiga dan keempat Hijriyah membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun praktis.
B. Ajaran-Ajaran Tasawuf al-Qusyairi
1. Mengembalikan Tasawuf ke Landasan Ahlussunnah
Apabila al-Risalah al-Qusyairiyyah karya al-Qusyairi dikaji secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf pada landasan doktrin ahlus Sunnah. Secara implisit dalam ungkapannya al-Qusyairi terkandung penolakan terhadap para sufi syathahi, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan dengan sifat-sifat kemanusiaan. pernyataan ini juga terkandung dalam perkataannya berikut ini,
“sesungguhnya seorang hamba tidak boleh menyandang sifat-sifat Allah sebagaimana anggapan sebagian sufi bahwa seorang hamba bisa menjadi kekal sebagaimana kekalnya Allah, bisa mendengar sebagaimana pendegaran Allah serta bisa melihat sebagaimana penglihatan Allah. Ini sudah keluar dari agama dan menanggalkan islam serta bid’ah yang lebih buruk daripada ucapan orang-orang nashrani bahwa kalimat qadimah bersatu dengan Isa as”.
2. Kesehatan Batin
Selain itu, al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya karena kegemaran mereka mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan dengan pakaian mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan batin dengan berpegang pada al-Qur’an dan as-Sunnah lebih penting dari pada pakaian lahiriah. Sebagaimana perkataannya,
“Duhai, saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat (pada para sufi sezamannya). Sebab, ketika hakikat realitas-realitas itu tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para sufi yang mengada-ada dalam berpakaian... setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun penjauhan diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri; dan setiap yang batin itu bertentangan dengan yang lahir adalah keliru serta bukannya yang batin... dan setiap tauhid yang tidak dibenarkan al-Qur’an maupun al-Sunnah adalah pengingkaran Tuhan dan bukan tauhid; dan setiap pengenalan terhadap Allah (makrifat) yang tidak dibarengi kerendahan hati maupun kelurusan jiwa adalah palsu dan bukannya pengenalan terhadap Allah.
3. Penyimpangan Para Sufi
Dalam konteks yang berbeda, dengan ungkapan yang pedas, al-Qusyairi mengemukakan penyimpangan lain dari para sufi abad kelima hijriyah, pendapat al-Qusyairi barangkali terlalu berlebihan. Namun, apapun masalahnya, paling tidak hal itu menunjukkan bahwa tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari perkembangan yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi moral dan tingkah laku.
Menanggapi masalah ini, dia berkata, barang siapa yang berkata bahwa syariat berbeda dengan hakikat maka ia zindiq. Serta barang siapa yang berkata bahwa yang dimaksud cinta kepada Allah dan sampai kepadanya adalah tidak mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah secara keseluruhan maka dia itu zindiq.
Oleh karena itu, ia menulis risalahnya karena keprihatinannya melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu, menurutnya sekadar pengobat keluhan atas apa yang menimpa tasawuf pada masanya.
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawuf, menurut al-
Qusyairi harus dengan merujuknya pada doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dalam ini adalah dengan mengikuti para sufi Sunni abad ketiga dan keempat Hijriyah seperti diriwayatkan dalam Risalahnya.
BAB III
SIMPULAN
Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hawazin. Sedangkan nasabnya adalah Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad sedangkan panggilannya adalah Abul Qasim. Ia lahir pada bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau tahun 986 M di Astawa.
Ia bertemu gurunya, Abu Ali al-Daqqaq di naisabur seorang sufi terkenal. Ketika mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan. Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, serta memilih jalan tarekat.
beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l073 M. Ketika itu usianya 87 tahun. Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.
Mengenai ajarannya al-Qusyairi menekankan kembali kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan mengikuti para sufi Sunni abad ketiga dan keempat Hijriyah seperti diriwayatkan dalam Risalahnya, hal itu menunjukkan bahwa tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari perkembangan yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi moral dan tingkah laku.
DAFTAR PUSTAKA
al-Biqa’i, Burhanuddin, 1980, Mashra’ al-Tasawwuf cd software maktabah syamilah, Makkah al-Mukarramah.
Anwar, Rosihon, 2009, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia.
M. Sholihin dan Rosihon Anwar, 2008, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Murid Paramartha, 2009, Imam al-Qusyairi. Online (http://tokohsufi.wordpress.com/2009/11/08/imam-al-qusyairi/) diakses tgl. 01 November 2010.
AJARAN - AJARAN TASAWUF AL - GHAZALI
Oleh:
Fathur Rahman Al Aziz
1. Biografi Singkat Al - Ghazali
Nama lengkap adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin ta’us Ath-thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena ia lahir di Ghazalah suatu kota di Kurasan, Iran, tahun 450 H/1058 M, ayahnya seorang pemintal kain wol miskin yang taat, pada saat ayahnya menjelang wafat Al Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad dititipkan kepada seorang sufi.
Setelah lama tinggal bersama sufi itu, Al-Ghazali dan adiknya disarankan untuk belajar pada pengelola sebuah madrasah, sekaligus untuk menyambung hidup mereka, di sana ia mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani, kemudian ia memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah dan berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini) hingga menguasi ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan, tak hanya itu ia pun mengisi waktu belajarnya dengan belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj Imam Haramani menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan Bahr Mu’riq (lautan yang menghanyutkan) kemahirannya dalam menguasi ilmu didapatnya, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu serta mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya.
Setelah Imam Haramani Wafat (478 H/1068 M) Al-Ghazali pergi ke Baghdad, yaitu tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (wafat 485 H/1091 M). Pada tahun 483 H/1090 M ia diangkat oleh Nizam Al-Muluk menjadi guru besar di Universitas. Selama di Baghdad Al-Ghazali menderita keguncangan batin sebagai akibat sikap keragu-raguan akan pencarian kebenaran yang hakiki, kemudian ia pun memutuskan untuk melepaskan jabatannya dan meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina dan kemudian ke Mekah untuk mencari kebenaran yang hakiki yang selama ini dicarinya, setelah ia memperolehnya maka tidak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M/14 Jumadil Akhir tahun 505H.
Al-Ghazali banyak meninggalkan karya tulis menurut Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah, ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Nasisabur dan ia mempergunakan waktu 30 tahun untuk mengarang yang meliputi beberapa bidang ilmu pengetahuan antara lain, filsafat, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, tafsir, tasawuf dan akhlaq.
2. AjaranTasawuf-Al-Ghazali
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya:
a. Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
b. PandanganAl-Ghazalitentang-As-As’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah) di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu.
http://delsajoesafira.blogspot.com/2010/05/ajaran-ajaran-tasawuf-al-ghazali.html
TASAWUF AKHLAKI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Budha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar. Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari khalayak ramai. Mereka adalah orang yang berhati baik, pemurah dan suka menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, Ruh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Ruh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada filsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Ruh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam Ruhani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, Ruh yang telah kotor itu dibersihkan dahulu melalui ibadah yang banyak serta melewati beberapa ujian-ujian dari mulai membersihkan diri dari segala dosa hingga mencapai rida Ilahi.
Dari agama Budha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Budha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis.
Hakekat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebutkan Alquran dan Hadits. "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya.” Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri.
Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, “Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku pun dikenal.”
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, maka hadis terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat Alquran dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadah ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan Ruhnya dengan Ruh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.
B. Rumusan Masalah
1..Bagaimanakah Perkembangan Tasawuf ?
2. Apakah Yang dimaksud dengan Tasawuf Akhlaki ?
3. Bagaimana tahap-tahap Pembinaan Akhlak menurut Tasawuf Akhlaki ?
4. Siapakah Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaki dan Ajarannya ?
5. Apa sajakah Rukun Tasawuf ?
C. Tujuan Penulisan
1 Agar mengetahui Perkembangan Ilmu Tasawuf.
2. Mengetahui Pengertian Tasawuf Akhlaki
3. Mengetahui Tahap-tahap Pembinaan Akhlak Menurut Tasawuf Akhlaki
C.Mengetahui tokoh-tokoh tasawuf Akhlaki dan Ajarannya.
5. Mengetahui Rukun Tasawuf.
D. Manfaat penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah, kita sebagai manusia harus:
1. .Dapat menerapkan dan mempraktekan dari prinsip tasawuf sebagai dasar pola hidup yang sederhana dan tidak tamak.B.
2. Dapat melakukan hubungan yang baik dengan lingkungan, dan kepada tuhannya.
3. Mendekatkan diri kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Tasawuf
Secara keilmuan, tasawuf adalah disiplin ilmu yang baru dalam syari’at Islam, demikian menurut Ibnu Khaldun.[1] Adapaun asal-usul tasawuf menurutnya adalah konsentrasi ibadah kepada Allah, meninggalkan kemewahan dan keindahan dunia dan menjauhkan diri dari akhluk. Ketika kehidupan materialistik mulai mencuat dalam peri kehidupan masyarakat muslim pada abad kedua dan ketiga hijriyyah sebagai akibat dari kemajuan ekonomi di dunia Islam, orang-orang yang konsentrasi beribadah dan menjauhkan diri dari hiruk pikuknya kehidupan dunia disebutlah kaum sufi.
Berbeda dengan Ibnu Khaldun, Muhammad Iqbal dalam bukunya “Tajdid al-Fikr ad-Dini al-Islam” berpendapat bahwa tasawuf telah ada semenjak Nabi. Riyadoh Diniyyah telah lama menyertai kehidupan manusia sejak awal-awal Islam bahkan kehidupan ini semakin mengental di dalam sejarah kemanusiaan.
Menurut sebagian fakar, Imam Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang memunculkan istilah taswuf. Menurut yang lain Salman al-Farisi.
Akar-akar tasawuf dalam Islam merupakan penjabaran dari ihsan. Ihsan sendiri merupakan bagian dari trilogi ajaran Islam. Islam adalah satu kesatuan dari iman, islam dan ihsan. Islam adalah penyerahan diri kepada Allah secara zahir, iman adalah I’tikad batin terhadap hal-hal gaib yang ada dalam rukun iman, sedangkan ihsan adalah komitmen terhadap hakikat zahir dan batin.
Islam, iman dan ihsan adalah landasan untuk melakukan suluk dan taqqarub kepada Allah. ‘Iz bin Abdissalam berpendapat bahwa sistematika keberagamaan bagi kaum muslimin, yang pertama adalah Islam[2]. Islam merupakan tingkat pertama beragama bagi kaum awam. Iman adalah tingkatan pertama bagi hati orang khusus kaum mukminin, sedangkan ihsan adalah tingkatan pertama bagi ruh kaum
B. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah[3]. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
B. Tokoh-tokoh Tasawuf dan Pemikirannya
Tasawuf Akhlaki merupakan tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak’ mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan menuasia yang dapat ma’rifah kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf Akhlaki, biasa disebut juga dengan istilah tasawuf sunni. Tasawuf Akhlaki ini dikembangkan oleh ulama salaf as-salih[4].
Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk. Potensi untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb. Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh syaithan.
Sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, surat as-Syams : 7-8 sebagai berikut :
Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Para sufi yang mengembangkan taswuf akhlaki antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110 H), al-Muhasibi (165 H – 243 H), al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid al-Gajali (450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari[5] dan lain-lain.
Sesugguhnya banyak sekali para Ulama’ yang mengikuti jejak Rosulullah SAW. untuk hidup seadanya dan tidak tamak, tapi pemakalah disini akan membahas siapa saja yang terkenal sebagai pakar ilmu tasawuf akhlaki :
1. .Tokoh-tokoh Tasawuf Ahlaki dan Ajarannya
Tasawuf Sunni (akhlaki) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab kami ini terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”, perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf mereka dengan neraca Syari’ah.
Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak. Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis.
Tasawuf ini juga dinamakan tasawuf nazhari (teori), demikian, karena tasawuf Islam terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah teori ini hanya melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif) secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi sekarang ini.
a.Junaid Al-Baghdadi[6]
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihawandi. Dia aadalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tokoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab imam Syafi`i.
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum.
Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan. Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan
Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.
Disamping al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
b.Al-Qusyairi An-Naisabury[7]
Dialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.
Sedikit sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana. Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy. Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M. Fatimah merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini, lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said Abdul Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath Ubaidillah, Abu Muzaffar Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim.
Disamping berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama lain. Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412 H/936-1021 M), seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad al-Ashfarayain.
Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri
Perburuan terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul (penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo, 1983)
Dari sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya monumentalnya Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu. Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala itu.
Imam Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas
Menurut Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya selama selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.
c.Al-Harawi[8]
Nama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.
Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya.
Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut.
Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di sekali-kali tidak melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Ketenangan tersebut, menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali.
B. Rukun Tasawuf
Al-Kalabazi dengan mengutip pendapat Abu al-Hasan Muhammad bin Ahmad al-Farisi menerangkan bahwa rukun tasawuf ada sepuluh macam, antara lain :
1. Tajrid at-Tauhid (memurnikan tauhid)
2. Memahami informasi. Maksudnya mendengar tingkah laku bukan hanya mendengar ilmu saja.
3. Baik dalam pergaulan.
4. Mengutamakan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan diri sendiri.
5. Meninggalkan banyak pilihan.
6. Ada kesinambungan antara pemenuhan kepentingan lahir dan batin.
7. Membuka jiwa terhadap intuisi (ilham).
8. Banyak melakukan bepergian untuk menyaksikan keagungan alam ciptaan Tuhan sekaligus mengambil pelajaran.
9. Meninggalkan iktisab untuk menumbuhkan tawakkal.
10. Meninggalkan iddikhar (banyak simpanan) dalam keadaan tertentu kecuali dalam rangka mencari ilmu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari segi linguistik tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak mulia yang mampu membentuk seseorang ke tingkat yang mulia. Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan Ruhnya dapat bersatu dengan Ruh Tuhan. Al-Ghazali mengatakan bahwa tasawuf itu adalah tuntunan yang dapat menyampaikan manusia mengenal dengan sebenar-benarnya kepada Allah Swt.
Tasawuf diciptakan sebagai media untuk mencapai maqashid al-Syar’i (tujuan-tujuan syara’). Karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya, yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. ibadah yang dilakukan itu erat kaitannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Alquran dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak/berpribadi mulia.
Harun Nasution lebih lanjut mengatakan bahwa Alquran dan hadis mementingkan akhlak. Alquran dan hadis menekankan nilai-nilai kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong-menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu dan berpikiran lurus. Nilai-nilai ini yang harus dimiliki seorang Muslim yang akan bertasawuf sebagai pembentukan ke arah pribadi yang mulia.
Selain itu, tasawuf juga mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1.Berupaya menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil
2.Melepaskan diri (takhalli) dari penyakit-penyakit kalbu.
3.Menghiasi diri (tahalli) dengan akhlak Islam yang mulia.
4.Mencapai derajat ihsan dalam ibadah (tajalli).
Dengan demikian kaum sufi harus selalu melaksanakan pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka pada setiap kali beribadah.
Wallahu A’lam bish-Shawab
B. Saran
Setelah para pembaca selesai membaca makalah ini, pastilah terdapat banyak kesalahan di dalam penulisan makalah di atas, memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari Bapak Dosen demi perbaikan makalah yang selanjutnya serta menuju arah yang lebih baik.
Kemudain diharapkan kepada para pembaca untuk pembuatan makalah selanjutnya, agar bisa menambah referensi yang lebih mendukung, karena dalam pembuatan makalah ini penulis hanya menggunakan beberapa referansi saja, hal ini dikarenakan keterbatasan buku referensi yang penulis dapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Sayyid Nur Sayyid, At-Tashawwuf Asy-Syar’i, terj. M. Yaniyullah Jud.Tasawuf Syar’i, Jakarta: Hikmah-Mizan, 2003
Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima
Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002
Siregar, Prof. H. A. Rivay, “Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” cet. Kedua, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000
Mujib, M.ag., Abdul dan Jusuf Mudzakir M.si, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, cet. II
Tasawuf Akhlaki
Tasawuf Akhlaki
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Taswuf
Dosen pengampu : Drs. Kasmuri, M.Ag
Disusun oleh :
Fidia Astuti (123 111 163)
Fitri Marta Ningrum (123 111 164)
Fitri Nur Cahyani (123 111 165)
Fitria Salma (123 111 166)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi tiga; pertama, tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku, kedua, tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam, ketiga, tasawuf yang pendekatannya melalui hati yang bersih yang dengannya sesorang dapat berdialog secara batini dengan Tuhan sehingga pengetahuan dimasukkan Allah kedalam hatinya, hakikat kebenaranpun tersingkap lewat ilham.
Pada perkembangannya tasawuf yang berorientasi kearah pertama sering disebut sebgai tasawuf akhlaki. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi dan yang berorientasi ke arah yang ketiga disebut tasawuf ‘irfani. Tasawuf akhlaki dan ‘irfani terus berkembang sejak zaman klasik islam hingga zaman modern sekarang dan sering di gandrungi orang karena penampilan paham atau ajaran-ajarannya tidak terlalu rumit. Tasawuf ini banyak berkembang di dunia Islam terutama di negara-negara yang dominan bermazhab Syafi’i.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tasawuf akhlaki?
2. Siapa tokoh-tokoh dalam tasawuf akhlaki?
3. Apa ajaran dalam tasawuf akhlaki?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian tasawuf akhlaki[27][1]
Kata “tasawuf”, menurut kaidah ilmu sharaf merupakan bentuk isim masdar, yaitu تَصَوُّفلً , yang berasal dari fi’il tsulatsi mazid khumasi, yaitu تَصَوَّفَ yang memiliki fungsi untuk membentuk makna lil mutawa’ah atau lil musyarakah atau membentuk makna saling. Maka arti kata “tasawuf” dalam bahasa Arab adalah bisa membersihkan atau saling membersihkan. Kata “membersihkan” merupakan kata kerja transitif yang membutuhkan objek. Objek dari tasawuf ini adalah akhlak manusia. Kemudian saling membersihkan merupakan kata kerja yang di dalamnya harus terdapat dua subjek aktif memberi dan menerima.
Kemudia “akhlak” juga berasal dari bahasa Arab. Kata أَخْلَآقُ merupakan bentuk jamak dari خُلُقٌ yang secara bahasa bermakna perbuatan atau penciptaan. Akan tetapi, dalam konteks agama, akhlak bermakna perangai, budu, tabiat, adab, atau tingkah laku.
Jika kata tasawuf dengan akhlak disatukan, dua kata ini akan menjadi sebuah frase, yaitu tasawuf akhlaki. Secara etimologis, tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku. Jika konteksnya adalah manusia, tingkah laku manusia yang tatanan dasar untuk menjaga akhlak manusia atau dalam bahasa sosialnya moralitas masyarakat.
B. Tokoh dan Ajaran Tasawuf Akhlaki
1. Hasan Al-Bashri
a. Riwayat hidup
Nama lengkapnya Abu Said Al-Hasan bin Yasar ialah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabi’in. Ia lahir di Madinah pada tahun 21 H (632 M) wafat pada hari kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badar dan 300 sahabat lainnya.[28][2]
Karir pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepada seluruh ulama di sana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri.[29][3]
b. Ajaran-ajaran tasawufnya
Abu Na’im AL-Ashbahani telah menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Basri sebagai berikut, “Takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah.” Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya.[30][4]
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa, guru besar filsafat Islam, menyatakan bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Akan tetapi, setelah kami teliti, ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinya yang mendasari tasawufnya. Sikap itu seirama dengan sabda Nabi Muhammad SAW, “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya laksana orang duduk di bawah sebuah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya.”[31][5]
2. Al-Muhasibi dan pandangan tasawufnya
Nama lengkapnya Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi. Ia lahir di Bashrah pada tahun 165H/781M dan meninggal pada tahun 243H/857M. Selagi masih kecil ia pinah ke Baghdad. Disinilah ia belajar hadits dan teologi dan bergaul rapat dengan tokoh-tokoh terkemuka pada masa itu. Dia digelari Muhasibi karena suka mengadakan intropeksi.[32][6]
Tentang kelebihannya, menurut al-Qusyairi, bahwa al-Muhasibi pada masanya adalah seorang yang tidak tertandingi dalam hal ilmu, sifat wara’ dan pergaulannya yang terpelihara baik. Ia mengarang berbagai kitab seperti al-Ra’iyah li Ruquq al-Insan. Ia menjadi panutan kebanyakan orang-orang Baghdad. Di kalangan para sufi, diperkirakan sebagai orang yang pertama kali membahas masalah akhlak dan hal-hal yang berhubungan dengannya seperti latihan jiwa, taubat, sabar, ridha, tawakal, takwa, takut dan lain-lain.[33][7]
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah SWT, melaksanakan kewajiban, wara’, dan meneladani Rosulullah SAW. Sesudah melaksanakan hal-hal diatas menurut Al-Muhasibi seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah SWT. Berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulullah SAW dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.[34][8]
a. Pandangan Al-Muhasibi tentang makrifat[35][9]
Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasan-batasan agama dan tidak sekali-kali mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian lahirnya dan mengaburkan keraguan. Dalam konteks ini, ia menuturkan sebuah hadis Nabi Muhammad SAW, “Pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan jangan coba-coba memikirkan Dzat Allah, sebab kalian akan tersesat karenanya.” Berdasarkan hadis tersebut dan hadis-hadis senada, Al-Muhasibi mengatakan bahwa makrifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah.
Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan makrifat sebagai berikut :
1. Taat. Kecintaan kepada Allah dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan ungkapan kecintaan semata.
2. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap makrifat selanjutnya.
3. Allah SWT menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah SWT.
4. Apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.
b. Pandangan Al-Muhasibi tentang khauf dan raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menepati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa.[36][10] Hal ini juga terlihat dari ungkapan bahwa pangkal wara’ adalah ketakwaan, pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri, pangkal introspeksi diri adalah kahuf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah, pangkal pengetahuan tetntang keduanya adalah perenungan.[37][11]
Khauf dan raja’ menurut Al-Muhasibi dapat dilakukan dengan sempurna hanya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam hal ini, ia terkesan pula mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah SWT. Untuk itu, ia menganggap apa yang diungkapkan Ibnu Sina dan Rabi’ah Al-‘Adawiyyah sebagai jenis fana’ atau kecintaan kepada Allah SWT. Yang berlebih-lebihan dan keluar dari apa yang telah dijelaskan Islam serta bertentangan dengan apa yang diyakini para sufi dari kalangan Ahlus Sunnah. Al-Muhasibi mengatakan bahwa Al-Qur’an jelas berbicara tentang pembalasan atas dasar targhib (sugesti) dan tarhib (ancaman). Al-Qur’an jelas pula berbicara tentang surga neraka.[38][12]
Raja’ dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal shaleh. Tatkala telah melakukan amal shaleh, seseorang berhak mengharap pahala dari Allah SWT. Inilah yang dilakukan oleh mukmin yang sejati dan para sahabat Nabi Muhammad SAW.[39][13]
3. Al-Qusyairi
Al-Qusyairi adalah salah satu seorang tokoh sufi utama dari abad kelima Hijriah. Kedudukannya demikian penting karena karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf aliran Sunni pada abad ketiga dan keempat Hijriah, menyebabkan terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun praktis.[40][14]
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hazwain lahir tahun 376 di Istiwa, kawasan Nishafur yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Di sinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu Ali Ad-Daqaq seorang sufi terkenal. Sang guru menyarankan untuk mengawasi tasawufnya dengan mempelajari syari’t.[41][15]
Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin ahlu al-sunnah yaitu dengan mengikuti para sufi sunni abad ke tiga dan keempat Hijriyah. Ia menolak terhadap sufi syathahi, yang menyatakan adanya perpaduan antara sifat-sifat ke-Tuhanan, khususnya sifat qadim-Nya, dan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat hadits-nya. Dari sini jelaslah bahwa Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-Ghazali, yang berafiliasi pada aliran yang sama yaitu al-Asy’ariyyah, yang nantinya merujuk pada gagasan al-Qusyairi itu.[42][16]
4. Al-Ghazali
a. Biografi[43][17]
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/ 1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Ayah Al-Ghazali adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, sangat menyenangi ulama, dan sering aktif menghadiri majlis-majlis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya bernama Ahmad kepada seorang sufi. Kepada sufi itu dititipkan sedikit harta, seraya berkata dalam wasiatnya.
Sufi tersebut menjalankan isi wasiat itu dengan cara mendidik dan mengajar keduanya, sampai suatu hari ketika harta titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya, sufi itu menitipkan kedua anak tersebut pada pengelola sebuah madrasah untuk belajar sekaligus untuk menyambung hidup mereka.
Di madrasah tersebut, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian, Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naishabur, dan di sinilah ia berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/ 1086 M) hingga menguasai ilmu manthiq, kalam, fiqh-ushul fiqih, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan.
b. Ajarannya
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin ahlu al-sunnah wa al-jama’ah. Dari paham tasawufnya itu, dia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filsuf Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shafa, dab lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ke-Tuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan.[44][18] Sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.
Menurut Al-Ghazal, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu dapat lepas dari segala sesuatu yang selain Allah SWT dan berhias dengan selalu mengingat Allah SWT. Ia juga berpendapat bahwa sosok sufi adalah menempuh jalan kepada Allah SWT dan perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih.[45][19]
Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat karena dianggapnya mempunyai dua kelemahan :
· Kurang memperhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah SWT dapat disaksikan.
· Merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri.
Al-Ghazali menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang makrifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah SWT tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas.[46][20]
BAB III
KESIMPULAN
1. Pengertian Tasawuf akhlaki
Tingkah laku manusia yang tatanan dasar untuk menjaga akhlak manusia atau dalam bahasa sosialnya moralitas masyarakat.
2. Tokoh dan Ajaran Tasawuf Akhlaki
a. Hasan Al-Bashri
Abu Na’im AL-Ashbahani telah menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Basri sebagai berikut, “Takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah.” Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya.
b. Al-Muhasibi
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah SWT, melaksanakan kewajiban, wara’, dan meneladani Rosulullah SAW. Sesudah melaksanakan hal-hal diatas menurut Al-Muhasibi seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah SWT. Berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulullah SAW dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.
c. Al-Qusyairi
Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin ahlu al-sunnah yaitu dengan mengikuti para sufi sunni abad ke tiga dan keempat Hijriyah. Ia menolak terhadap sufi syathahi, yang menyatakan adanya perpaduan antara sifat-sifat ke-Tuhanan, khususnya sifat qadim-Nya, dan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat hadits-nya.
d. Al-Ghazali
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin ahlu al-sunnah wa al-jama’ah. Dari paham tasawufnya itu, dia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filsuf Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shafa, dab lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ke-Tuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan.
DAFTAR PUSTAKA
Toriqqudin. 2008. Sekularitas Tasawuf. Malang: UIN-Malang Press.
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
AL- QUSYAIRI
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui bahwa tasawuf terbagi menjadi tiga, yaitu tasawuf akhlaki, tasawuf irfani dan tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaki merupakan gabungan antara ilmu tasawuf dan ilmu akhlak. Akhlak erat hubungannya dengan perilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi sosial pada lingkungan tempat tinggalnya. Jadi, tasawuf akhlaki dapat terealisasi secara utuh jika pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia. Supaya lebih mudah menempatkan posisi tasawuf dalam kehidupan bermasyarakat, para pakar tasawuf membentuk kajian tasawuf ini pada ilmu tasawuf akhlaki, yang didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW.
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق (رواه أحمد و البيهقي)
Salah seorang tokoh tasawuf akhlaki adalah al-Qusyairi, untuk mengenal lebih dalam mengenai al-Qusyairi maka patut kiranya kita ketahui mengenai sejarah beliau serta ajaran yang diajarkannya sebagaimana akan dijelaskan dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Syaikh Al- Qusyairi
Al- Qusyairi dilahirkan pada tahun 376 H, di Istiwa, kawasan Nishapur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Nama lengkapnya adalah Abd al- Karim bin Hawazin Al- Qusyairi.[1] Di Nishapur beliau bertemu dengan gurunya, Abu Ali Al- Daqqaq, seorang sufi yang terkenal. Al-Qusyairi selalu menghadiri majelis pengajian guruny dan dari gurunya itulah beliau menempuh jalan sufi. Sang guru menyarankannya untuk pertama-tama mempelajari Fiqh pada seorang Faqih yang bernama Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Al- Tusi (w. 405) dan mempelajari ilmu kalam serta ushul Fiqh pada Abu Bakr bin Faruak (w. 406).[2]
Al- Qusyairi adalah seorang tokoh terkemuka pada abad kelima hijriyah, yang cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikan tasawuf ke landasan al- Qur’an dan as- Sunnah yang merupakan cirri utamadari ajaran tasawuf sunni. Kedudukannya yang demikian penting mengingat karya- karyanya tentang para sufi dan tasawuf aliran sunni abad- abad ketiga dan keempat hijriyah, yang membuat terpeliharanya pendapat dan khasanah tasawuf pada masa itu baik dari segi teoritis maupun praktis. Menurut B. Khallikan, Al- Qusyairi adalah orang yang mampu mengompromikan syari’at dengan hakikat. Demikian tinggi kedudukan Al- Qusyairi dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang tasawuf, sehingga beliau mendapat banyak sekali gelar, seperti al- Imam, al- Ustadz, al- Syekh, Zayn al- Din dan juga al- Jami’ bayn al- Syari’ah wa al- Haqiqah (yang mengintegrasikan syari’at dan hakikat),[3] panggilan tersebut merupakan panggilan kehormatan, karena posisinya sebagai orang yang mempunyai derajat luhur dan agung dalam ilmu islam dan tasawuf. Al- Qusyairi wafat di Naisabur, ahad pagi 16 Rabiul Awal tahun 465 H (1073 M) pada umur 87 tahun.[4]
B. Ajaran Syaikh Al- Qusyairi
Al- Qusyairi terkenal karena beliau menulis sebuah risalah tentang tasawuf, yang diberi nama Al- Risalah al- Qusyairiyah, kitab ini ditulis al- Qusyairi untuk golongan orang- orang sufi dibeberapa Negara Islam dalam tahun 473 H, kemudian tersiar luas keseluruh tempat karena isinya ditujukan untuk mengadakan perbaikan terhadap ajaran- ajaran sufi yang pada waktu itu banyak menyimpang dari sumber islam. Jika kitab al- Risalah tersebut dikaji secara seksama, maka akan tampak jelas bagaimana al- Qusyairi mengembalikan tasawuf keatas landasan doktrin Ahl Al- Sunnah, seperti pernyataannya berikut ini:
“ Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina prinsip- prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar sehingga terpeliharalah doktrin mereka dari penyimpangan. Selain itu, mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlus sunnah yang tidak tertandingi serta tidak mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama dan bias mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Oleh karena itu, tokoh aliran ini, Al- Junaid mengatakan bahwa tauhid adalah pemisah antara hal yang lama dan hal yang baru. Landasan doktrin- doktrin mereka pun didasarkan pada dalil-dalil dan bukti yang kuat serta gambang. Dan ini seperti dikatakan Abu Muhammad Al- Jariri bahwa barang siapa tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincirnya kaki yang tertipu ke dalam jurang kehancurannya.”[5]
Secara implisit dalam ungkapan al- Qusyairi tersebut terkandung penolakan terhadap para sufi syathahi yang mengucapkan ungkapan- ungkapan penuh kesan tentang terjadinya perpaduan antara sifat- sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya dengan sifat- sifat kemanusiaan khususnya sifat barunya. Selain itu al- Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya karena kegemaran mereka mempergunakan pakaian orang- orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan pakaian mereka. Beliau menekankan bahwa kesehatan batin dengan berpegang pada al- Qur’an dan as- Sunnah lebih penting dari pada pakaian lahiriah.
Al- Qusyairi memiliki dasar- dasar pemikiran sebagai berikut:
1. Ma’rifat menurut Abdul Karim Al- Qusyairi adalah seseorang yang sudah dapat mengenal Allah, dalam pengenalannya itu sudah sampai kepada keyakinan yang kuat. Maka apabila seseorang itu sudah mencapai pada tingkatan ma’rifat, maka setiap tingkah lakunya dan pola pikirnya haruslah didasari dengan ilmu.
2. Ma’rifat adalah suatu sifat seseorang yang telah mengenal Allah melalui sifat dan asma-Nya, dengan meninggalkan sifat- sifat tercela, selalu ingat kepada Allah yang telah member karunia yang berupa kondisi mental yang tangguh ini dan tanpa adanya keragu- raguan, tidak dapat dipalingkan dengan apapun atau siapapun dan tetap dalam arah menuju ridha Allah.
3. Pokok pikirannya yang lain telah terungkap pada kitab- kitabnya yang membahas antara lain:
a. Menyangkut dasar- dasar keimanan yang menjadi landasan setiap perkembangan tasawuf.
b. Uraian tentang tokoh- tokoh sufi yang telah memantapkan tasawuf melalui uraian dalam pemikiran mereka.
c. Uraian yang menyangkut berbagai pengertian aspek dri maqomat dan akhwal.
d. Uraian yang menyangkut pengertian, kedudukan dan kelayakan seseorang dalam kekeramatan terutama di kalangan sendiri.[6]
BAB III
SIMPULAN
Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hawazin. Sedangkan nasabnya adalah Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad sedangkan panggilannya adalah Abul Qasim. Ia lahir pada bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau tahun 986 M di Astawa.
Ia bertemu gurunya, Abu Ali al-Daqqaq di naisabur seorang sufi terkenal. Ketika mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan. Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, serta memilih jalan tarekat.
Beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l073 M. Ketika itu usianya 87 tahun. Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.
Mengenai ajarannya al-Qusyairi menekankan kembali kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan mengikuti para sufi Sunni abad ketiga dan keempat Hijriyah seperti diriwayatkan dalam Risalahnya, hal itu menunjukkan bahwa tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari perkembangan yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi moral dan tingkah laku.
[1] Asmaran, Pengantar studi Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, 318.
[2] Rosihon Anwar, Akhlak tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2009, 125.
[3] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Erlangga, 2006, 191.
[4] Moh. Sutoyo, Tasawuf dan Tarekat jalan Menuju Allah, Madiun: Tegalarum, 2007,52.
[5] Anwar, Akhlak Tasawuf, 126.
[6] Sutoyo, Tasawuf dan Tarekat jalan Menuju Allah, 54.
PENGERTIAN, TUJUAN, DAN PERKEMBANGAN TAREKAT
PENGERTIAN, TUJUAN, DAN PERKEMBANGAN TAREKAT
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Individu Pada Mata Kuliah
Akhlak Tasawuf Fakultas Tarbiyah & Adab
Jurusan PAI – A Semester 2
Diajuakan Oleh:
Muhamad Salihin
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
“SULTAN MAULANA HASANUDIN”
SERANG - BANTEN 2012
0
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................i
BAB I. PENDAHULUAN.........................................................................
A. Latar Belakang Masalah...........................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................
C. Tujuan Penulisan Makalah......................................................
BAB II. PEMBAHASAN........................................................................
A. Pengertian.............................................................................
B. Hubungan Tariqat Dengan Tasawuf....................................
C. Sejarah Timbulnya Tariqat...................................................
D. Aliran-aliran Tariqat Dalam Islam........................................
E. Istilah Tariqat.........................................................................
BAB III. PENUTUP.................................................................................
A. Kesimpulan...........................................................................
B. Saran.....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tarikat ( bahasa Arab ) طريقة jamak dari kata طرق yang berarti “jalan” atau metode, dan mengacu pada aliran keagamaan tasawuf atau sufisme dalam Islam. Ia secara konseptual terkait dengan haqiqah atau “kebenaran sejati”, yaitu cita-cita ideal yang ingin dicapai oleh para pelaku aliran tersebut. Seorang penganut ilmu agama akan memulai pendekatannya dengan mempelajari hukum Islam, yaitu praktik eksoteris atau diniawi Islam. Dan kemudian berlanjut pada jalan pendekatan mistis keagamaan yang berbentuk tariqah, melalui praktik spritual dan bimbingan seorang pemimpin tarekat, calon penghayat tarekat akan berupaya untuk mencapai haqiqah ( hakikat, atau kebenaran hakiki ).
Bila ditinjau dari sisi lain, tarikat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan ( persaudaraan ), dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tarekat dan hubungan tarekat dengan tasawuf?
2. Bagaimana sejarah timbulnya tarekat?
3. Apa aliran-aliran tarekat dalam Islam dan istilah tarekat itu?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Fiqih Fakultas Tarbiyah dan Adab IAIN “SMH” Banten Tahun Akademik 2010/2011.
2. Mengetahui pengertian tarekat, dan hubungan tarekat dengan tasawuf.
3. Mengetahui aliran-aliran tarekat dalam Islam, dan istilah tarekat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tarekat
Asal kata “tarekat” dalam bahsa Arab ialah “thariqah” yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu.[47][1] Tarekat adalah jalan yanng ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut thariq. Kata turunan ini menunjukan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap muslim.[48][2]
Tak mungkin ada anak jalan tanpa ada jalan utama tempat berpangkal. Pengalaman mistik tak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu dengan seksama.[49][3]
Menurut Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
ا لطر يقة هي ا لعمل با الشر يعة و ا لاخذ بعزا ئعها و ا لبعد عن ا لتسا هل
فيما لا ينبغي ا لتسا هل فيه
Artinya:
“Tariqat adalah pengamalan syariat, melaksanakan beban ibadah ( dengan tekun ) dan menjauhkan ( diri ) dari ( sikap ) mempermudah ( ibadah ), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah”[50][4]
اا لطر يقة هي ا جتنا ب ا لمنهيا ت ظا هرا و با طنا وا متثا ل ا لا وا مر ا لا لهية
بقد ر ا لطا قة
Artinya:
“Tariqat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai dengan kesanggupannya, baik larangan yang nyata maupun yang tidak
( batin ).”
ا لطر يقة هي ا جتنا ب ا محر ما ت و ا لمكرو ها ت و فضو ل ا لمبا حا ت
و ا دا ء ا لفرا ئض فما ا ستطا ع من ا لنوا فل تحت ر عا ية عا ر ف من ا هل ا لنها ية
Artinya:
“Tariqat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah ( yang sifatnya mengandung ) fadilah, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan
( pelaksanaan ) di bawah bimbingan seorang arif ( Syekh ) dan ( Sufi ) yang mencita-citakan suatu tujuan.”[51][5]
B. Hubungan Tariqat Dengan Tasawuf
Dalam ilmu tasawuf istilah tarikat tidak saja ditunjukan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang ditunjukan oleh seorang syaih tariqat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang syaih tariqat , tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam agama islam, seperti halnya shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Ajaran tersebut merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah.[52][6]
Di dalam tariqat yang sudah melembaga, tariqat mencakup semua aspek ajaran islam seperti shalat, puasa, zakat, jihad, haji, dan sebagainya, telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha unuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Dan ajaran-ajaran tasawuf yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan hakikat tariqat yang sebenarnya, dengan demikian bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tariqat adalah cara atau jalan yang ditempuh seorang dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah.
C. Sejarah Timbulnya Tariqat
Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan tariqat mana yang mula-mula timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti , namun De. Kamil Musthafa Asy-syibi dalam tasisnya mengungkapkan tokoh pertama yang memperkenalkan sistem tariqat syaih Abdul Qasiir al-Zailani ( 561 M-1166 H ) di Bagdag, Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i di mesir denagan tariqat Rifa’iyyaah, dan Jalal ad-din ar-rumi (672 H-1273 M) di Parsi.[53][7]
Harun Nasution menyatakan bahwa setelah al-Ghazali memenghalalkan tasawuf yang sebelumnya yang dikatakan sesat, tasawuf berkembang didunia islam, melalui tarikat. Tariqat adalah organisasi dari pengikut-pengikut sufyn besar, yang bertujuan untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya, tariqat memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebut ribat, ini merupakan tempat murid-murid berkumpul melestarikan ajaran tasawufnya.[54][8]
Pada awal kemunculannya, tariqat berkembang dari dua daerah yaitu, Khusaran ( Iran ) dan Mesopotamia ( Irak ) pada periode ini mulai timbul beberapa diantara tariqat Yasafiyah yang didirikan oleh Abd Al-Khaliq Al-Ghuzdawani. [55][9]
( 9617 H.1220 M ) tariqat Naqsabandiyah yang didirikan oleh Muhamad Badauddin an-Naqsabandi al-Awisi al-Bukhari ( 1389 M ) di Turkistan, tariqat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (1397 M ).[56][10]
D. Aliran-aliran Tariqat Dalam Islam
1. Tariqat Qadiriyah, yang didirikan oleh Muhy Ad-Din abd al-Qadir al-Jailani ( 471 h/1078 M )
2. Tariqat Syadziliyah yang dinisbatkan kepada Nur Ad-Din Ahmad Asy-Syadzili ( 593- 656 H/ 1196-1258 M )
3. Tariqat Naqsabandiyah yang didirikan oleh Muhammad Baharuddin an-Naqsabandi al-Asisial-Bukhari (1389 M ) di Turkistan.
4. Tariqat Yasafiyah dan Khawajaqawiyah, tariqat Yasafiah didirikan oleh Ahmad al-Yasafi ( 562 H/1169 M ) sedangkan Khawajaqawiyah didirikan oleh Abd al-Khaliq al-Ghuzdawani ( 617 H/1220 M )
5. Tariqat Khalwatiyah yang didirikan oleh al-Khalwati ( 1397 M )
6. Tariqat Syatariyah yang didirikan oleh Abdullah bin Syatar ( 1485 ) di India
7. Tariqat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad bin Ali ar-Rifa’i
( 1106-1182 )
8. Tariqat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah yang didirikan oleh Ahmad Khatib Sambas yang bermukim dan mengajar di Mekah pada pertengahan abad ke-19
9. Tariqat Summaniyah yang didirkan oleh Muhammad bin Abd al-Karim al-Madani Asy-Syafi’i as-Samman ( 1130-1189/1718-1775 )
10. Tariqat Tijaniah yang didirikan oleh Syekh Ahmad bin Muhamad at-Tijani ( 11501230 H/1737-1815 M )[57][11]
11. Tariqat Chistiyah yang didirikan oleh Khwajah Mu’in Ad-Din Hasan
12. Tariqat Mawlawiyah, yang didirikan oleh Syekh al-Kabir Gelminski
13. Tariqat Ni’matullah yang didirikan oleh Syaih Ni’matullah
14. Tariqat Sanusiyah yang didirikan oleh Sayyid Muhammad bin Ali as-Sanusi.[58][12]
E. Istilah Tariqat
Ada beberapa istilah tariqat antara lain:
a) Syariat
Kata “syariat” yang berarti peraturan atau perjalanan, para ahli berpendapat berupa amalan-amalan lahir, semisal shalat, puasa, dan lain-lain.
b) Hakikat
Kata “hakikat” yang berarti puncak atau kesudahan sesuatu atau asal sesuatu. Namun didalam istilah tarikat berarti sebagai kebalikan syariat yakni yang menyangkut batin.
c) Ma’rifat
“Ma’rifat” berarti pengetahuan atau pengalaman. Menurut istilah Ma’rifat adalah pengetahuan dalam mengerjakan syariat dan hakikat.
d) Tarikat
Kata “tarikat” berarti jalan. Menurut istilah, tarekat ialah jalan atau cara yang ditempuh menuju keridaan Allah.
e) Suluk
Kata “suluk” berarti menempuh perjalanan. Dalam tasawuf suluk adalah ikhtiar ( usaha ) dalam menempuh jalan untuk mencapai tujuan tarekat. Orang yang menjalankan ikhtiar tersebut dinamakan Salik.[59][13]
f) Manazil
Artinya tempat-tempat perhatian yang dilalui salik yang melaksanakan suluk:
Ø Masyahid
Ialah hal-hal yang terlihat pada perjalanan di tengah sedang menjalankan suluk.
Ø Maqamat
Ialah derajat-derajat yang dipoeroleh dengan usaha sendiri.
Ø Kasbiyah
Ialah derajat-derajat yang diperoleh semata-mata dengan anugerah Allah yang disebut “al-ahwal” atau “mauhibiyah”
g) Zawiyah
Zawiyah adalah merupakan suatu ruang tempat mendidik calon-calon sufi.
h) Illa Zikr Nafi Isbat
Kalimat “La ilaha illallah” mengandung dua kata peri-ada-an. Pertama kata “La” dan kedua kata “Illa”. Dan dua kata pula yang menetapkan yaitu “Ilaha” dan “Allah”.
Dalam hal tersebut di atas ahli tarekat memberi tiga tingkatan pengertian, yaitu:
Ø Tiada Tuhan melainkan Allah
Ø Tiada ma’bud melainkan Allah
Ø Tiada maujud melainkan Allah
i) As-Sukr
As-Sukr maksudnya sebagai salah satu sikap dalam ibadah dan khalwat. Sehingga orang itu tidak sadar lagi akan dirinya.
Ø Al-Fana
Maksudnya ialah lupa segala sesuatu ketika beribadah kecuali yang disembahnya.[60][14]
j) Uslah
Uslah adalah salah satu prektek suluk dengan mengasingkan diri dari khalayak ramai yang berbuat maksiat.
Ø Khalwat
Khalwat sebagai satu rangkaian dalam suluk dengan jalan menyendiri di tempat yang sunyi atau bertapa.
k) Kasyaf
Artinya terbukanya dinding antara hamba dengan Tuhan dalam tarekat. Empat dinding pembatas antara Khalik dengan makhluk menurut ahli tarekat yaitu:
Ø Najis dan hadas
Ø Haram dan makruh
Ø Akhlak dan tercela
Ø Kelalaian terhadap Tuhan karena dunia
l) Silsilah
Artinya nisbah ( hubungan ) guru-guru tarekat yang sambung bersambung dari bawah ke atas yang perlu diketahui oleh pengikut-pengikut tarekat.
Ø Khirkah
Ialah semacam ijazah yang diberikan kepada murid setelah mencapai suatu tahap dalam pengethuan.
m) Wali
Wali adalah seseorang yang telah mencapat tingkat kesucian yang tinggi setelah melalui suluk. Dia mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu sebagai bukti-bukti dari kewaliannya.
Ø Keramat
Adapun yang dimaksud dengan keramat adalah keistimewaan yang dimiliki seorang wali tersebut.[1][15]
[1]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tariqat adalah pengamalan syariat, melaksanakan beban ibadah ( dengan tekun ) dan menjauhkan ( diri ) dari ( sikap ) mempermudah ( ibadah ), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah. Dan tareqat merupakan jalan atau cara yang ditempuh menuju keridaan Allah.
Hubungan tasawuf dengan tareqat yaitu, tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tariqat adalah cara atau jalan yang ditempuh seorang dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah.
Adapun sejarah timbulnya tareqat, Harun Nasution menyatakan bahwa setelah al-Ghazali memenghalalkan tasawuf yang sebelumnya yang dikatakan sesat, tasawuf berkembang didunia islam, melalui tarikat. Tariqat adalah organisasi dari pengikut-pengikut sufyn besar, yang bertujuan untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya, tariqat memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebut ribat, ini merupakan tempat murid-murid berkumpul melestarikan ajaran tasawufnya.
B. Saran
Tujuan hidup tidaklah mencapai kebaikan. Untuk kebaikan melainkan merasa kebahagiaan. Tujuan kita bukan untuk mengetahui, melainkan berbuat, dan bukan untuk mengetahui apa budi itu. Melainkan supaya kita menjadi orang yang berbudi.
Manusia tidak selamanya tepat pertimbangannya, adil sikapnya, kadang – kadang manusia berbuat yang tidak masuk akal. Oleh sebab itu, manusia perlu sekali tahu mengenai diri. Manusia yang tahu mengetahui diri hidupsebagaimana mestinya tidak terombang – ambing oleh hawa nafsu.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Makluf, Luis. 1986, Al-Munjid Fi Al-Lughat Wa Al-A’lam. Bairut: Dar Al-Masyrik
Ø Solihin, M. 2008, Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia
Ø Schimel, Annemarie. 1986, Dimesti Mistik Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus
Ø Mustofa, A. 2007, Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Ø Nasution, Harun. 1986, Perkembangan Tasawuf Di Dunia Islam. Jakarta: Depag RI
Ø Anwar, Rosihon. 2000, Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia
Ø Mustofa, A. 2010, Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Konsep Akhlak Imam Al Ghazali
"+"
KONSEP AKHLAK;
Dalam Pandangan Al-Ghazali
A. Pendahuluan
Masalah akhlak terus menjadi topik yang selalu diperbincangkan oleh berbagai kalangan, khususnya kaum agamawan, dan lebih khusus lagi para mubaligh yang selalu memberi taushiyah-taushiyah kepada masyarakat. Mereka tidak jemu-jemu menyoroti masalah akhlak, sebab, menurut mereka, salah satu penyebab krisis multidimensi di negeri ini adalah krisis akhlak. Sayangnya, krisis akhlak dalam istilah agamawan itu terlalu sempit, sebab masih terbatas pada masalah seks pra-nikah, korupsi, pakaian super seksi, atau tontonan yang kerap membuat jantung kita berdetak lebih kencang.
Selain itu, pembicaraan akhlak juga terbatas pada sikap atau perilaku yang kasat mata, sedangkan aspek batiniah kurang mendapat porsi yang berimbang. Padahal, akhlak hakiki, menurut al-Ghazali, tidak terletak pada sikap dan perilaku yang indrawi atau empiris melainkan ada pada lubuk hati yang paling dalam.
Berbicara mengenai akhlak, jelas tidak bisa melupakan nama al-Ghazali atau Imam Ghazali. Ulama yang diberi gelar hujjāt al-Islām ini memang memiliki perhatian yang cukup besar terhadap masalah akhlak. Ini barangkali dikarenakan spirit sufistiknya yang begitu kuat pada diri al-Ghazali, khususnya di masa-masa akhir petualangan intelektualnya.
Karena itu, konsep akhlak al-Ghazali sangat menarik untuk dikaji secara seksama, dengan harapan kita mampu mengetahui hakikat akhlak yang sebenarnya. Makalah yang sangat sederhana ini tentu tidak bisa mengurai seluruh konsep al-Ghazali. Makanya, makalah ini hanya menguraikan beberapa sub-topik saja menyangkut konsep akhlak al-Ghazali, yaitu definisi akhlak, relasi akhlak dengan ilmu pengetahuan, macam-macam kebaikan dan kebahagiaan, dan cara membangun al-akhlaq al-karimah. Karenanya, konsep akhlak al-Ghazali yang dipaparkan di dalam makalah ini lebih pada akhlak terapan, khususnya di lingkungan keluarga dan madrasah atau sekolah.
B. Biografi Singkat Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu Ta’us at-Thusi al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450/451 H (1058/1059 M) dan dibesarkan di Tus, kini dekat Masyad, sebuah kota kecil di Khurasan (sekarang Iran).[1] Al-Ghazali lahir dari keluarga yang cukup sederhana, bahkan bisa dikatakan miskin. Ayahnya adalah seorang pemintal wol dan menjualnya di tokonya sendiri. Sekalipun miskin, sang ayah bercita-cita tinggi. Dia berharap agar putranya, al-Ghazali kelak menjadi orang besar dan berpengetahuan luas.[2]
Al-Ghazali belajar ilmu pengetahuan di kota kelahirannya, kemudian pindah ke Nysaphur di mana ia berguru kepada ulama besar al-Harmain Abi al-Ma’ali al-Juwaini (w. 1016 M), ahli fiqh Syafi’iyah ketika itu. Setelah gurunya wafat beliau meninggalkan Nysaphur menuju kota yang bernama al-Askar, tidak jauh dari Nysaphur. Al-Ghazali bertemu dengan Wazir Nizamul Muluk di kota tersebut. Pada waktu itu, sang Wazir ditemani oleh beberapa ulama terkemuka. Pada kesempatan itu al-Ghazali sempat bertukar pikiran dengan ulama-ulama itu, dan tampaklah keunggulan dan keluasan ilmu pengetahuannya, khususnya di bidang filsafat. Keluasan di bidang filsafat itulah yang mendorong wazir untuk mengundangnya. Al-Ghazali kemudian diangkat menjadi guru besar di Madrasah Nizamul Mulk, sebuah perguruan tinggi yang mahasiswanya kebanyakan para ulama.[3]
Selain itu, penting juga untuk diuraikan tentang setting sosial, politik, dan keagamaan yang menonjol di sepanjang pertumbuhan dan perkembangan intelektual al-Ghazali. Al-Ghazali hidup pada zaman dinasti Abbasyiyah di mana saat itu sedang terjadi pertarungan semi politik antara aliran Sunni dan Syi’ah. Dua aliran ini sama-sama berusaha merebut pengaruh, baik kepada masyarakat maupun penguasa. Perebutan pengaruh ini akhirnya membawa kepada tragedi memilukan yang dikenal dengan mihnah, di antara yang menjadi “korbannya” adalah Ahmad bin Hambal dan al-Juwaini. Ini merupakan contoh kecil dari kerunyaman situasi dan kondisi saat itu. Pendek kata, al-Ghazali hidup di masa runtuhnya Islam.[4]
Hal itu terang saja berpengaruh kepada pemikiran dan sikap keagamaan al-Ghazali. Karena itu, tidak berlebihan apabila al-Ghazali disinyalir dengan penguasa, bahkan ia pernah menerima “pesanan” penguasa untuk menyusun buku yang isinya merupakan counter terhadap aliran yang merongrong penguasa, walaupun ia kemudian berjanji tidak akan dekat lagi dengan penguasa.
Al-Ghazali memenuhinya dengan `uzlah, tetapi `uzlah Al-Ghazali itu tidak identik dengan sikap pasif tanpa kerja-kerja konkret. `Uzlah yang dilakukan lebih karena ia ingin menghindar untuk sementara dalam upayanya menjernihkan pikiran dan mata hati yang sudah terkena polusi dan penyakit keagamaan. Periode ini merupakan kebangkitan ruhiyah Al-Ghazali. Anehnya, karya-karya Al-Ghazali pada periode tidak hanya menyangkut masalah pengalaman batin (inner experience) saja, tetapi juga karya-karya yang tetap menggunakan perangkat logika,[5] misalnya Qanūn al-ta’wīl dan Al-Musthafā fi ilmi al-ushl.
Selain dua karya di atas, Al-Ghazali juga menulis banyak karya lainnya, di antaranya: (1) Ihyā Ulumuddin, kitab yang menguraikan tentang ilmu kalam, tasawuf, dan akhlak; (2) Ayyuha al-Walad, sebuah buku tentang akhlak; (3) Al-Munqizu min al-Dalāl, risalah yang menggambarkan perkembangan pikiran dan kerohanian-nya hingga ketika dia terombang-ambing antara syak dan harapan; (4) Maqāsid al-Falāsifah dan Tahāfud al-Falāsifah, kitab yang menggambarkan tentang filsafat; dan masih banyak karya-karya lainnya.[6] Pengaruh pemikiran al-Ghazali tidak hanya di kalangan muslim saja, tetapi juga di kalangan Yahudi dan Kristen, seperti Musa bin Maymun.[7]
C. Definisi Akhlak
Definisi akhlak menurut al-Ghazali ini sangat penting untuk dikemukakan, sehingga bisa membantu kita untuk menelaah konsep akhlak al-Ghazali. Menurutnya,
“Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan. Jika dari sikap itu lahir perbuatan terpuji, baik menurut akal sehat maupun syara’, maka ia disebut akhlak terpuji (akhlak mahmūdah). Jika yang lahir perbuatan tercela, ia disebut akhlak tercela (akhlak madzmūmah)”.[8]
Definisi akhlak al-Ghazali ini sejatinya merupakan respons terhadap definisi-definisi akhlak yang dikemukakan oleh ulama-ulama ketika itu. Menurutnya, “orang-orang (baca: para ulama) memang telah membicarakan akhlak, akan tetapi sebenarnya tidak membicarakan hakikat akhlak, melainkan hanya ‘buahnya’ saja”.[9] Al-Ghazali kemudian mengutip beberapa definisi akhlak yang dikemukakan oleh para ulama, antara lain:
1. Al-Hasan, akhlak baik adalah muka yang manis, banyak memberi, dan mencegah hal-hal yang melukai orang lain.
2. Al-Wasithi, akhlak baik adalah kalau orang tidak bermusuhan dan tidak dimusuhi, karena sangat ma’rifat kepada Allah SWT. Suatu saat al-Wasithi juga mendefinisikan, akhlak baik ialah membuat senang orang banyak disaat senang dan susah.
3. Syah al-Karmani, akhlak baik ialah mencegah hal-hal yang menyakiti orang lain (terutama perasaan) dan penderitaan orang mukmin.
4. Abu Usman, akhlak baik adalah rela kepada Allah SWT.
5. At-Tusturi, akhlak baik adalah apabila seseorang tidak salah sangka kepada Allah SWT tentang rizki, percaya kepada Allah bahwa rizkinya akan terjamin, tidak durhaka kepada Allah, dan menjaga hak-hak sesama.
6. Ali r.a. pernah berkata: “Perangai baik itu ada pada tiga hal, yaitu: menjauhi segala yang haram, mencari yang halal, dan memberi keleluasaan kepada Allah.
7. Al-Husam bin Manshur, akhlak baik adalah apabila engkau tidak terpengaruhi oleh kekasaran perangai orang banyak setelah engkau mengetahui mana yang benar.
8. Abu Said al-Kharraz, budi pekerti baik ialah agar engkau tidak mempunyai tujuan selain Allah SWT.[10]
Definisi-definisi semacam inilah yang dikritik al-Ghazali sebagai definisi yang terbatas pada buah akhlak, bukan pada substansinya. Untuk memperkuat alasannya, al-Ghazali membedakan antara al-Khuluqu (budi pekerti) dan al-Khalqu (kejadian; bentuk lahir). Jadi yang dikehendaki oleh al-Khalqu meliputi “bentuk lahir”, sementara al-Khuluqu menekankan pada “bentuk batin”-nya. Al-Ghazali menambahkan bahwa al-Khuluqu menggambarkan perilaku yang meresap dalam jiwa (nafs), dan darinya memancarkan perbuatan-perbuatan yang tanpa melalui pikiran dan pertimbangan.[11]
D. Relasi Akhlak dengan Ilmu Pengetahuan
Pusat perbincangan akhlak al-Ghazali adalah kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan sesuatu yang dicari, mathlūb, baik oleh orang-orang terdahulu maupun orang-orang modern. Kebahagiaan, kata al-Ghazali, hanya bisa dijangkau melalui sinergisitas antara pengetahuan dan perbuatan. Pengetahuan menghendaki standar yang membedakannya dari aktivitas-aktivitas lainnya, sedangkan perbuatan menghendaki kriteria yang akan menentukan secara jelas dan singkat, memunculkan peniruan secara pasif dan memiliki tujuan pasti, sehingga suatu perbuatan dapat menghasilkan kebahagiaan dan membeda-kannya dari perbuatan yang membawa pada kesengsaraan.[12]
Menurut al-Ghazali, dengan kebahagiaan kita dapat memahami bahwa kesenangan ukhrawi itu tidak palsu, penuh keberlimpahan yang tak terhingga, kesempurnaannya tidak pernah berkurang, dan kemualiaannya tidak terbandingkan sepanjang waktu. Tak seorangpun yang meyakini eksistensi kesenangan ukhrawi semacam itu yang tidak mencarinya; meskipun demikian, masih banyak orang-orang yang menolak kebahagiaan ukhrawi seperti kalangan ateis dan hedonis.[13]
Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan yang dimaksud oleh al-Ghazali bukan kebahagiaan duniawi semata, melainkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Konsep kebahagiaan al-Ghazali ini jelas berbeda dari teleologi Aristoteles dan hedonisme. Konsep kebahagiaan aristoteles “terlalu” umum, belum ada pembagian yang konkret kebahagiaan seperti apa yang ia maksud. Sementara itu, kebahagiaan kaum hedonis hanya terbatas pada kebahagiaan fisik saja. Padahal, dalam teori Abraham Maslow, selain kebutuhan fisik, manusia juga memiliki kebutuhan spiritual, spiritual need.
Menurut al-Ghazali, manusia memang perlu menyibukkan diri dengan perbuatan, tetapi yang terpenting bagi manusia hanyalah mencari pengetahuan hakiki tentang perbuatan yang benar saja. Berangkat dari sini al-Ghazali kemudian sampai pada pembagian ilmu pengetahuan menjadi ilmu teoritis dan ilmu praktis. Ilmu pengetahuan teoritis meliputi keseluruhan ilmu filsafat yang membentuk inti silabus Yunani-Arab pada abad ke-10 dan 11 M. Subyek pembahasan ilmu ini meliputi pengetahuan tentang Tuhan, malaikat, rasul, makhluk fisik beserta cabang-cabangnya. Sementara yang termasuk ilmu praktis adalah etika yang didefinisikan sebagai pengetahuan tentang jiwa, sifat-sifat dan perilaku moralnya; ekonomi rumah tangga, dan politik atau pengaturan urusan-urusan kenegaraan.[14]
Berdasar pada pembagian tersebut, al-Ghazali menyebutkan bahwa akhlak merupakan puncak ilmu praktis. Bagi al-Ghazali, penyelidikan etika atau akhlak harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan-kekuatan, dan sifat-sifatnya. Pengetahuan ini merupakan prasyarat untuk membersihkan jiwa sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an, yaitu Asy-Syam: 9-10, “sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa itu, dalam sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya”. Pengetahuan itu juga merupakan pengenalan menuju pengenalan kepada Allah SWT, seperti yang dinyatakan dalam hadist qudsi-nya, “man `arafa nafsahu faqad `arafa rabbahu” (barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri, maka dia sungguh telah mengenal Tuhannya).[15]
Penting untuk dikemukakan juga tentang metode-metode dan alat-alat untuk memperoleh pengetahuan, berikut hubungannya dengan konsep akhlak al-Ghazali. Ibarat suatu benda, ilmu pengetahuan adalah air, dan manusia perlu mengetahui bagaimana cara “terbaik, mudah, dan cepat” untuk memperoleh ilmu itu.
Al-Ghazali mengemukakan bahwa terdapat dua metode untuk memperoleh ilmu pengetahuan, yaitu: 1) metode ta`allum insāni (pengajaran secara manusiawi) adalah metode yang lazim kita alami sehari-hari, baik di lembaga pendidikan informal, formal, maupun non-formal; dan 2) metode ta`allum rabbani (pengajaran dari Allah) adalah metode pengajaran melalui proses komunikasi antara manusia dengan Allah. Allah sebagai pemberi ilmu, sedangkan manusia sebagai penerimanya.[16]
Adapun alat-alat memperoleh ilmu pengetahuan, menurut al-Ghazali, ada tiga macam, yaitu: panca indera, akal dan hati. Ilmu yang diperoleh melalui panca indera bisa diperoleh melalui proses-proses berikut: (1) refleksi, yaitu menerima rangsangan dari luar; (2) pencerapan yaitu obyek yang diterima setelah mengalami pengolahan; (3) penggabungan unsur-unsur penginderaan, dan (4) fenomena dari luar dipantulkan secara khusus. Tingkat ini telah sampai pada tingkat abstraksi.[17]
Menurut al-Ghazali, akal manusia terbagi menjadi dua, yaitu akal teoritis dan akal praktis.[18] Keduanya bukanlah dua hal yang benar-benar berbeda, melainkan saling mengisi satu sama lain. Istilah sekarang untuk menyebut kedua akal itu barangkali otak kanan dan otak kiri. Akal praktis atau otak kanan berfungsi untuk kreativitas, sementara akal teoritis atau otak kiri berfungsi untuk menyempurnakan substansinya yang abstrak.
Akal teoritis sendiri, menurut al-Ghazali, mempunyai empat tingkatan kemampuan, yaitu: (1) al-`aql al-hayulanī, akal materiil, yakni potensi dan kemampuan untuk menangkap arti-arti murni yang tidak pernah berada dalam materi (masih belum tampak di permukaan); (2) al-`aql al-malakat, akal intelektual, yaitu akal kesanggupannya untuk berpikir abstrak secara murni sudah mulai kelihatan. Akal ini dapat menangkap pengertian-pengertian atau kaidah-kaidah umum, misalnya “keseluruhan lebih besar dari sebagian”; (3) al-`aql al-fi’il, akal aktual, yakni akal yang lebih mudah dan lebih banyak menangkap pengertian-pengertian atau kaidah-kaidah umum tersebut; dan (4) al-`aql al-mustafad, akal perolehan, yakni akal yang di dalamnya terdapat arti-arti abstrak yang selamanya dapat dikeluarkan dengan mudah sekali.[19]
Sementara itu, alat terakhir untuk memperoleh ilmu, yakni hati (qalb) memperoleh ilmu pengetahuan yang jauh lebih penting dari ilmu yang diperoleh panca indera maupun akal. Qalb bisa memperoleh ilmu melalui ilham maupun adz-dzauq (daya tangkap yang sekaligus merasakan kehadiran apa yang ditangkap.[20]
Apabila mencermati definisi akhlak dan alat-alat untuk memperoleh ilmu, tampaknya al-Ghazali menekankan lebih menekankan pada kekuatan qalb. Qalb-lah yang menentukan apakah sikap dan perbuatan seseorang bisa dimasukkan dalam kategori akhlak, sebab akhlak menurut al-Ghazali muncul tanpa melalui proses pertimbangan akal, apalagi pertimbangan panca indera. Jadi ilmu pengetahuan yang menggerakkan manusia untuk berakhlak muncul dari ilham dan adz-dzauq dalam pengertian yang lebih sederhana, bukan pengertian dunia sufistik. Pengetahuan yang melalui ilham dan adz-dzauq itulah yang seketika mendorong manusia untuk berakhlak baik, sehingga sikap dan perbuatannya mampu melintasi panca indera dan akal.
E. Macam-macam Kebaikan dan Kebahagiaan
Sebagaimana telah disinggung di atas, al-Ghazali membagi kebahagiaan menjadi dua macam kebahagiaan utama, yaitu kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Menurutnya, kebahagiaan yang pertama adalah kebahagiaan yang sejati, sedangkan kebahagiaan yang kedua hanyalah kebahagiaan yang bersifat metaforis. Keasyikan dengan kebahagiaan akhirat bagaimanapun tidak memalingkan perhatiannya pada kebahagiaan atau kebaikan lainnya. Bahkan al-Ghazali menyatakan, apapun yang baik untuk kebaikan akhirat maka ia merupakan kebaikan juga.
Kebaikan sendiri menurut al-Ghazali bermacam-macam, antara lain: (1) kebaikan jasmaniah, seperti kesehatan, kekuatan, panjang umur, dan lain-lain; (2) kebaikan eksternal, seperti kekayaan, keluarga, kedudukan sosial, dan lain-lain; (3) kebaikan-kebaikan Tuhan, seperti hidayah, bimbingan lurus (rusyd), pengarahan (tasdid), pertolongan (ta’yid), dan lain-lain.[21]
Selain kebaikan dan kebahagiaan, al-Ghazali juga berbicara tentang kesenangan. Menurutnya, kesenangan terbagi menjadi 3 macam kesenangan, yaitu: 1) kesenangan intelektual, seperti kesenangan akan pengetahuan dan kebijaksanaan, 2) kesenangan biologis yang dimiliki manusia dan binatang, seperti makan, minum, seks dan lain-lain, dan 3) kesenangan sosial dan politik, seperti keinginan untuk memperoleh kemenangan dan kedudukan sosial. Bagi al-Ghazali, kesenangan yang paling terhormat dan hanya dimiliki oleh manusia adalah kesenangan yang pertama. Ia merupakan kesenangan yang abadi dan dibalas dengan kehormatan abadi dalam kehidupan ini hingga akhir nanti. Tidak seperti harta atau dunia yang seringkali menjerumuskan manusia ke dalam dosa, senantiasa harus menjaganya, dan jika digunakan semakin lama akan semakin habis.[22]
F. Cara Membangun al-Akhlaq al-Karimah
Seringkali terdengar ungkapan seseorang, “saya ini terlanjur jadi orang jahat, biarlah tetap jahat”. Ini bentuk sikap pesimis dari orang tersebut untuk merubah dirinya menjadi manusia yang baik, manusia yang diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna, ahsanu taqwim. Lebih parah lagi apabila dia merasa bahwa perangai jahatnya itu semata-mata takdir Tuhan yang tidak bisa dirubah.
Pesimisme itu, kata al-Ghazali, muncul sebagai akibat nafsu menghalang-halangi seseorang untuk membersihkan diri dan mendidik akhlaknya. Al-Ghazali berpandangan bahwa akhlak manusia bisa dirubah dan didik. Alasan al-Ghazali tampak sederhana, tetapi cukup kuat. Menurutnya, “jika akhlak manusia tidak dapat dirubah, maka pesan-pesan, petunjuk-petunjuk, dan pendidikan-pendidikan tidak ada artinya. Selain itu, mengapa Rasulullah SAW bersabda, “Perbaiki akhlak kalian”.[23]
Al-Ghazali kemudian mengkiaskan perubahan akhlak manusia dengan perubahan perangai asli binatang. Burung elang saja dapat dialihkan dari sifat liar kepada kejinakan, anjing dapat dirubah dari serakah menjadi “agak sopan” dan tidak memakan hasil buruan yang memang untuk pemiliknya. Demikian pula dengan kuda yang keras kepala dapat dirubah menjadi patuh dan penurut.[24] Al-Ghazali sebenarnya hendak menyatakan, jika perangai binatang saja bisa dirubah, mengapa akhlak manusia tidak bisa. Artinya, pintu masuk menuju akhlaq al-karimah terbuka lebar-lebar bagi siapa saja yang ingin memilikinya.
Kias al-Ghazali di atas tentu tidak bisa dipahami apa adanya, sebab walau bagaimanapun ada perbedaan antara manusia dan binatang, khususnya yang terkait dengan masalah kejiwaan keduanya. Menurut al-Ghazali, di dalam batin manusia terdapat empat unsur yang harus baik agar akhlak manusia bisa menjadi baik, yaitu: (1) kekuatan ilmu pengetahuan, (2) kekuatan marah (ghadab), (3) kekuatan keinginan (syahwat), dan (4) kekuatan adil (al-‘adl).[25] Perbedaan manusia dengan binatang yang paling mencolok terletak pada aspek yang pertama, yakni ilmu pengetahuan.
Kekuatan ilmu yang sebenarnya adalah manakala orang yang memilikinya dengan mudah bisa membedakan benar dan salah, hak dan batil, serta baik dan buruk. Bilamana kekuatan ilmu ini menjadi sempurna, maka darinya lahir kebijaksanaan, (al-Hikmah). Sebagaimana firman Allah SWT, “Barang siapa diberi hikmah, maka sesungguhnya dia diberi kebajikan yang besar” (Q.S. al-Baqarah/2: 269).[26]
Kekuatan ghadab akan terlihat keindahannya pada saat terkendali dan terarah menurut garis hikmah. Demikian halnya dengan kekuatan syahwat dan al-‘adl. Kekuatan syahwat akan terlihat ketika dia berada di bawah bimbingan akal dan agama, dan kekuatan al-‘adl merupakan pengendalian kekuatan syahwat dan ghadab di bawah petunjuk akal dan agama.[27]
Mengenai cara membangun manusia yang ber-akhlaq al-karimah, al-Ghazali mengibaratkannya dengan seorang dokter. Seorang dokter mengobati pasiennya sesuai penyakit yang dideritanya. Tidak mungkin ia mengobati bermacam-macam penyakit dengan satu jenis obat saja, karena kalau demikian malah bisa membunuh pasien. Demikian juga dengan seseorang yang berusaha membangun al-akhlaq al-karimah pada diri seseorang ia harus menggunakan bermacam-macam pendekatan, sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Abidin Ibnu Rusn, berkata:
“Kalau guru melihat muridnya keras kepala, sombong dan congkak, maka dia disuruh ke pasar untuk meminta-minta. Sesungguhnya sifat bangga diri dan egois itu tidak bisa hancur kecuali dengan sifat hina diri. Tiada kehinaan yang lebih besar daripada kehinaan meminta-minta. Maka dipaksakan ia melakukan hal demikian beberapa lama sehingga hancurlah sifat sombong dan egois itu….Jika guru melihat murid itu pemarah, hendaknya ia menyuruh supaya selalu bersikap sabar dan diam. Kemudian menyerahkannya kepada orang yang berperangai buruk agar mengabdi kepadanya, sehingga murid itu bisa melatih dirinya untuk bersabar”.[28]
Uraian al-Ghazali tentang cara membangun al-akhlaq al-karimah menunjukkan bahwa untuk menghilangkan perbuatan tercela anak adalah dengan menyuruhnya melakukan perbuatan yang sebaliknya. Hal ini dapat dimengerti karena penyakit jiwa yang berupa akhlak tercela itu sebagaimana penyakit badan atau raga.
G. Penutup
Konsep akhlak al-Ghazali lebih menekankan pada sesuatu yang batiniah yang sangat berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, khususnya pengetahuan untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil. Puncak dari akhlak adalah kebaikan dan kebahagiaan. Kebaikan dan kebahagiaan di sini adalah kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Hanya saja kebahagiaan ukhrawi jauh lebih bernilai daripada kebahagiaan duniawi. Karena itu, semua orang harus memiliki al-akhlaq al-karimah, sehingga ia bisa menikmati kebahagiaan tersebut, sebab Nabi Muhammad diutus oleh Allah memang untuk memperbaiki akhlak manusia. Artinya, al-akhlaq al-karimah bisa dimiliki oleh siapa saja dengan cara melatih diri sesuai dengan ajaran-ajaran agama.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin Riwayat Hidup al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Al-Ghazali, Ihyā Ulumuddin, III, Beirut: Dar al-Fikr, tt
________, Keajaiban Hati, terj. Nurchikmah, Jakarta: Tintamas Indonesia, 1984
Fakhry, Madjid, Etika Dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan UMS Surakarta, 1996
Ghafur, Waryono Abdul, Kristologi Islam Telaah Kritis Kitab Rad al-Jamil Karya al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Nurchalish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997
Madjidi, Busyairi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997
Mubarak, Zaki, Al-Akhlaq `Inda al-Ghazali, Kairo: Asy-Syu`ub, tt
Musthofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Rusn, Abidin Ibnu, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Solikin, M., Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman, Bandung: Pustaka Setia, 2003
[1] Waryono Abdul Ghafur, Kristologi Islam Telaah Kritis Kitab Rad al-Jamil Karya al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 25 Sementara itu, Sa’id Basil dalam Manhaj al-Bahtsi An al-Ma’rifah Inda al-Ghazali menambah kata “Asy-Syafi’i” setelah at-Thusi. Ini mengindikasikan bahwa al-Ghazali termasuk salah satu ulama yang mengikuti madzhab Syafi’i. Lihat, M. Solikin, Tokoh-tokoh Sufi Lintas Zaman, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 111
[2] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 29
[3] Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997), hlm. 79-80
[4] Baca Waryono, op.cit., hlm. 25-62
[5] Zaki Mubarak, Al-Akhlāq `Inda Al-Ghazali, (Kairo, Al-Syu’ub, tt), hlm. 59-60
[6] ibid, hlm. 81-82
[7] Nurchalish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 90
[8] Al-Ghazali, Ihyā Ulumuddin, III, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 109
[9] Al-Ghazali, Keajaiban Hati, terj. Nurchikmah, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1984), hlm. 140
[10] Ibid, hlm. 140
[11] Ibid, hlm. 141 Bandingkan, Musthofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 11
[12] Madjid Fakhry, Etika dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & UMS, 1996), hlm.126
[13] Ibid, hlm. 126-7
[14] Ibid, hlm. 127-8
[15] Ibid, hlm. 128
[16] M. Solikin, Tokoh-tokoh…, op.cit., hlm. 121
[17] Ibid, hlm. 123
[18] Ibid, hlm. 126
[19] Ibid, hlm. 127
[20] Ibid, hlm. 129
[21] Fakry, Etika…,op.cit, hlm. 135
[22] Ibid, hlm. 137
[23] Al-Ghazali, Keajaiban …, op.cit., hlm. 147
[24] Ibid, hlm. 147
[25] Madjidi, Konsep…, op.cit., hlm. 89
[26] Ibid, hlm. 89-90
[27] Ibid, hlm. 90
[28] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 100-101
[1][1] Mohammad Toriquddin, Sekularitas Tasawuf (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal 165-166.
[2][2] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Jakarta, 2009), hal 18.
[3][3] Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Jakarta,1999), hal 96.
[4][4] Muzakkir, Studi Tasawuf (Medan : Ciptapustaka Media Perintis, 2009), hal 33-34.
[5][5] Rosihon Anwar,Ahklak Tasawuf (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010), hal 183.
[6][6] Muzakkir, Studi Tasawuf , hal 58.
[7][7] M. Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal 131.
[8][8] Muzakkir, Studi Tasawuf , hal 58.
[9][9] Asmaran, As, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hal 319
[10][10] Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo: Ramadani, 1996) h. 39-40.
[11][11] Khan Sahib Khaja Khan, Tasawuf Apa dan Bagaimana (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002) h. 141-142
[12][12] Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf ,hal 172
[13][13] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002) h.55
[14][14] Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf ,hal 103.
[15][15] Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf ,hal 107.
[16][16] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996) h.9-10
[17][17] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, h.45-46.
[18][18] Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo: Ramadani, 1996) h. 33
[19][1] Basher,Damanhuri.Ilmu Tasawuf.(Banda Aceh: Pena.2005).hlm.155
[20][2] Ibid.op.ct.hlm.1
[21][3] Nata,Abudin.Akhlak Tasawuf.(Jakarta: Rajawali Pers.)hlm.18
[22][4] Ibid.op.ct.hlm.18
[23][5] Ibid.op.ct.hlm.19
[24][6] Damanhuri.Akhlak Tasawuf.(Banda Aceh: Pena.2010)hlm.182-184
[25][7] Ibid.op.ct.hlm.202-20
[26][8] Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Hal. 35
[1] Siregar, Prof. H. A. Rivay, “Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” cet. Kedua, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000
[2] Ali, Sayyid Nur Sayyid, At-Tashawwuf Asy-Syar’i, terj. M. Yaniyullah Jud.Tasawuf Syar’i, Jakarta: Hikmah-Mizan, 2003
[3]Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima
[4] Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima. Hal. 93
[5] Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima. Hal. 81
[6] Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Hal. 24
[7] Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Hal. 35
[8] Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002. Hal. 26
[27][1] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 229-230.
[28][2] H.Moh. Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, (Malang: UIN Malang Press, 2008). hlm. 168.
[29][3] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 231.
[30][4] H.Moh. Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, hlm. 168.
[31][5] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 233.
[32][6] H.Moh. Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, hlm. 169.
[33][7] Ibid
[34][8] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 234.
[35][9] Ibid, hlm. 234-235.
[36][10] Ibid, hlm. 235.
[37][11] H.Moh. Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, hlm. 171.
[38][12] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 236.
[39][13] Ibid, hlm. 237.
[40][14] Ibid, hlm. 238.
[41][15] H.Moh. Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, hlm. 172.
[42][16] Ibid,
[43][17] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 242-
[44][18] H.Moh. Toriquddin, Lc., M.HI., Sekularitas Tasawuf, hlm. 173.
[45][19] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, hlm. 247.
[46][20] Ibid.
[47][1] Luis Makluf, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-A’lam ( Bairut: Dar Al-Masyriq, 1986 ), hal.465.
[48][2] M. Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008 ), hal.203.
[49][3] Annemarie Schimel, Dimensi Mistik dalam islam ( jakarta: Pustaka Firdaus, 1986 ), hal.101.
[50][4] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf ( Bandung: Pustaka Setia, 2007 ),hal.280.
[51][5] A. Mustofa, Op.Cit., hal.280-281.
[52][6] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi, Pengantar Ilmu Tasawuf ( Sumatra Utara, 1981/1982 ),hal.273.
[53][7] M. Solihin, Op.Cit., hal.207.
[54][8] Harun Nasution, Perkembangan Tasawuf di Dunia Islam ( Jakarta: Depag RI, 1986 ), hal.24.
[55][9] Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000 ), hal.167.
[56][10] Rosihon Anwar, Op.Cit., hal.168.
[57][11] M. Solihin, Op.Cit.,hal.211-216.
[58][12] M. Solihin, Op.Cit.,hal.217-218.
[59][13] H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2010 ), hal.285-286.
[60][14] H. A. Mustofa, Op.Cit.,hal.286-287.
[61][15] H. A. Mustofa, Op.Cit.,hal.287-288.